Root, Character, Attitude

Salam, nama saya Dozan Alfian. Selamat membaca :)

Root, Character, Attitude

Hellavila Records, Minor Label asal Jogjakarta. Induk dari Cranial Incisored, Spider's Last Moment, Lex Luthor The Hero dan Overseas

Root, Character, Attitude

Between The Living And The Dead, Full Length kedua dari Lex Luthor The Hero, dirilis 19 Agustus 2011 BEBAS BEA a.k.a FREE DOWNLOAD

Root, Character, Attitude

Lex Luthor The Hero, Hardrock. Band naungan Hellavila Records

Tuesday 1 September 2020

#IniUntukKita - SBN Ritel Sebagai Langkah Cerdas Berinvestasi Sambil Berkontribusi untuk Bangsa dan Negara


Pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga saat ini telah menimbulkan banyak dampak destruktif di berbagai bidang, termasuk pada sektor ekonomi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2020 mengalami kontraksi sebesar -5.32 persen (year on year). Hal ini membuat Indonesia hampir 100 persen dipastikan akan mengalami resesi pada kuartal ketiga 2020.

Indonesia resesi

Penyebabnya, aktivitas perdagangan dan keuangan yang telah terganggu sejak kemunculan COVID-19 hingga perlahan pulih pada bulan Juni 2020 lalu masih belum punya cukup tenaga untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi di bulan Juli-September. 

Resesi membuat masyarakat menengah kebawah kehilangan daya belinya, sedangkan masyarakat menengah keatas memilih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Keadaan seperti ini tentu saja membuat perputaran roda ekonomi jadi macet sehingga para pelaku usaha akan mengalami penurunan penjualan. Dampaknya, mereka terpaksa melakukan efisiensi, termasuk diantaranya dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti yang sempat banyak terjadi beberapa waktu lalu. 

Sebagai antisipasi pribadi jika resesi berdampak besar dalam kehidupan kita di masa mendatang, ada baiknya untuk mulai mengalokasikan sebagian dana yang dimiliki pada investasi yang aman dan terjamin.

Salah satunya adalah melalui Surat Berharga Negara (SBN) yang merupakan instrumen investasi keluaran pemerintah dan bisa dibeli oleh masyarakat atau pemodal individu (ritel). Melalui SBN, pemerintah menghimpun dana dari masyarakat (dengan cara menerbitkan surat hutang) untuk kemudian digunakan dalam pembiayaan program-program pemerintah, misalnya saja pada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan untuk mengurangi dampak COVID-19 terhadap perekonomian Indonesia. Itulah sebabnya membeli SBN juga berarti turut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara. 

Karena dikeluarkan oleh negara dan dijamin undang-undang, maka investor SBN tidak perlu takut mengalami kerugian seperti gagal bayar atau duit hilang. Selain itu, investor juga akan mendapatkan imbal hasil yang nilainya lebih besar dari deposito BUMN, sehingga investasi pada SBN boleh dibilang cocok bahkan bagi para investor pemula yang masih memiliki banyak keraguan untuk mulai berinvestasi.

Alur investasi SBN berlangsung seperti ini: Investor dapat membeli SBN sesuai jadwal yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, melalui mitra distribusi yang ditunjuk pemerintah. Biasanya, nilai pemesanan yang ditawarkan pemerintah berkisar mulai dari Rp1 juta hingga maksimal Rp3 miliar dengan tenor waktu sesuai yang ditentukan. Nantinya, investor SBN akan mendapatkan kupon atau imbal hasil investasi yang dibayarkan setiap bulannya selama masa tenor, berdasarkan tingkat bunga yang telah ditentukan. Setelah tenor habis, maka modal pokok investasi akan dikembalikan.



Tahun ini, pemerintah berencana hanya menerbitkan enam SBN ritel saja yang telah dimulai sejak Januari 2020. Jika tertarik untuk mulai berinvestasi pada SBN sekaligus berkontribusi pada negara di masa pandemi ini, setidaknya masih tersisa dua kesempatan berinvestasi pada jadwal berikut ini:

1 Oktober 2020: ORI017

26 Oktober 2020: ST008

Tunggu apa lagi? Mari wujudkan kontribusi pada pembangunan #IndonesiaMaju melalui investasi pada SBN ritel, karena #IniUntukKita.

 

Saturday 31 March 2018

Catatan Dokumentasi Proses Rekaman LeftyFish - Hello Kittie's Spank



Sebelum berbicara tentang album terbaru LeftyFish yang berjudul 'Hello Kittie's Spank', izinkan saya memulai tulisan ini dengan sebuah pengakuan: sulit bagi saya untuk menulis apapun tentang LeftyFish tanpa terlihat subjektif. Setelah mencermati sejumlah tulisan lawas saya tentang mereka, baik di blog ini maupun di catatan dalam laman Facebook pribadi saya, hampir pasti saya selalu memuji mereka.

Saya meyakini bahwa kedekatan pribadi dengan beberapa personel LeftyFish akan membuat saya tidak fair dalam memberikan review atau ulasan tentang 'Hello Kittie's Spank'. Mengutip Wendi Putranto (ex jurnalis Rolling Stone, manajer Seringai kini), "Dan sialnya, saya terlanjur punya prinsip untuk tidak menulis atau mewawancara band yang saya manajeri sendiri, apalagi kemudian menerbitkannya di Rolling Stone. No fucking way!..."

Apa yang Wendi ucapkan itu, saya yakini merupakan bentuk keprofesionalannya sebagai seorang jurnalis yang dituntut untuk selalu objektif dalam kondisi apapun. Berangkat dari hal inilah saya memutuskan untuk tidak memberikan ulasan tentang 'Hello Kittie's Spank'. Sebagai gantinya, saya tertarik untuk bercerita tentang proses LeftyFish merekam album ini, setahun yang lalu....

Sebelum kamu melanjutkan membaca, perlu saya ingatkan bahwa tulisan ini lumayan panjang. Siapkan kopi dan cemilan agar kamu tidak bosan. Selamat membaca!

18 Maret 2017 


Sore itu, drummer J. Arya Andy Putra datang terlambat dari waktu yang dijanjikan. Menurut gitaris Halim Budiono, LeftyFish dijadwalkan untuk memulai sesi pertama rekaman album ‘Hello Kittie’s Spank’ pada pukul 15:00 WIB. Arya baru datang satu jam kemudian bersama Gentong, sahabatnya. Tanpa banyak basa-basi, ia pun segera membenahi setting drum yang akan digunakannya untuk merekam album ini. Menurut Halim, ada sekitar 12-14 tracks yang telah dipersiapkan untuk album ini. Belakangan, kita tahu bahwa angka itu adalah omong kosong semata, karena LeftyFish nyatanya menyuguhkan 17+1 tracks di album ini.

Ki-Ka: Winan, Arya, Mursyid, Ayu, Halim, Bayu

Jika sebelumnya LeftyFish memproduksi EP ‘You, Fish!’ di Elsy Studio, maka untuk album perdana ‘Hello Kittie’s Spank’, Watchtower Studio yang jadi pilihan. Studio milik Yuda Hasfari Sagala (atau dikenal juga sebagai Bable ‘MetallicAss’) ini terletak di kawasan Bantul, dan tengah ramai menjadi rujukan banyak band di Yogyakarta dan sekitarnya untuk merekam karya. Seperti namanya, Watchtower Studio adalah sebuah bangunan berlantai dua yang serupa dengan menara pengawas. Dari ruangan studio di lantai dua, kamu bisa duduk santai di balkon sembari melihat pemandangan sawah di sekitarnya, atau gunung Merapi jika tak terhalang awan.

Di bawah naungan Metallica


Selepas melakukan set up pada perangkat drum, Arya melakukan sedikit pemanasan sembari menunggu Halim dan keyboardist Winan Pratama mempersiapkan alat musiknya masing-masing. Mereka akan mengawal Arya membuat guide track. Bable turun langsung sebagai sound engineer di album ini. Sebagai seorang drummer dari band beraliran thrash, saya cukup yakin kalau Bable mengimani Metallica. Terbukti dari adanya poster wajah para personel Metallica era Black Album yang terpampang di atas mixing console. Dan di hadapan para ‘dewa’ thrash itulah LeftyFish akan menuliskan sejarahnya.

Sedikit flashback, saya mengikuti perkembangan LeftyFish sejak EP pertama mereka. Dan jika saya tidak over confident, mungkin saya adalah salah satu pendengar awal LeftyFish yang berhasil membujuk Halim untuk lebih dahulu memperkenalkan LeftyFish ketimbang melepas single baru Hephaestus (proyek sampingan Halim dengan Wiman Rizkidarajat – vokalis Spider’s Last Moment cum editor webzine Heartcorner Collective) di tahun 2015 silam (cerita soal ini bisa dibaca melalui tulisan saya yang berjudul “Lefty Fish: Mainan Baru Halim Budiono yang Tidak Main-Main”). Saya punya keyakinan kuat bahwa album penuh ini akan lebih gila dari sebelumnya. Itulah sebabnya saya jauh-jauh hari sudah menawarkan diri pada Halim untuk menjadi seksi dokumentasi pada proses LeftyFish merekam ‘Hello Kittie’s Spank’.

Rasa baru


Saya segera menyiapkan kamera ketika Arya telah selesai melakukan pemanasan dan bersiap untuk melakukan take lagu pertama. Drummer band grindcore Deadly Weapon ini didaulat untuk menggantikan sementara drummer asli LeftyFish, Andi Wahyu Purbono, yang konon sedang dalam masa pemulihan karena sempat mengalami kecelakaan. Meski Arya mengaku bahwa dirinya hanyalah ‘pemain pengganti’ berstatus tidak tetap, namun kehadirannya cukup memberi nuansa baru. Saya sendiri sudah tidak meragukan lagi kemampuan Arya dalam menggebuk drum, sehingga tidak begitu heran ketika dia banyak melakukan ubahan pada part drum yang dulu diisi oleh Bono agar lebih sesuai dengan gaya permainannya yang cukup rapat dan presisi.

Arya saat merekam track drum

Sembari merekam proses rekaman ini, saya mulai menyadari bahwa sosok Winan akan cukup berperan signifikan di album ini. Saya memang belum mengenal Winan secara personal, namun saya tahu bahwa ia pernah sekali waktu membantu Cranial Incisored (band terdahulu Halim, yang menurutnya “siap dibangkitkan kapan saja”) dalam penampilan live-nya. Jadi meski Winan tidak tergabung dalam band bergenre ‘berisik’ apapun, rasanya ia tidak akan terlalu kesulitan menyesuaikan diri.

Tak hanya merekam keyboard, Winan juga mendirect seksi tiup dan menjadi asisten sound engineer
Winan toh tak sekedar menyesuaikan diri. Ia bahkan membuang jauh-jauh identitas musikal seksi keyboard yang dulu pernah diisi Andi Haryono. Kita tahu, LeftyFish memasukkan ulang lagu-lagu mereka di EP ‘You, Fish!’ dengan sedikit ubahan aransemen. Dan berkat keberadaan Winan, saya menemukan gairah baru dalam mendengarkan lagu-lagu lama LeftyFish itu. Memang, ada kalanya Winan terlalu mendominasi dengan memberikan sentuhan keyboard yang rumit ala Jordan Rudess (Dream Theater) saat berada di studio. Namun baik Halim maupun Arya nampak sepakat bahwa bukan fill seperti itu yang dibutuhkan LeftyFish, melainkan sentuhan yang ringan, kacau, namun sekaligus memukau di waktu yang bersamaan. Beruntung, Winan mampu memberikan hal tersebut.

Konsep punk dan kekacauan yang terstruktur


Dari seksi Gitar, Halim kini tak lagi menggunakan Scechter 7 senar yang ia pakai di EP terdahulu. Sebuah gitar baru yang unik keluaran Woodman Guitars kini menjadi andalannya. Gitar yang Halim gunakan ini betul-betul unik karena dirancang sesuai dengan apa yang dibutuhkan Halim, termasuk dengan penggunaan neck trapesium dan fanned-fret.

Halim saat take gitar

Dalam salah satu wawancara yang saya lakukan padanya, ia mengaku ingin album ini terdengar lebih punk. Jujur saya bingung. Dari segi manapun, LeftyFish tetap tidak punya aura punk. Saya bahkan sampai memaki-maki halim di dalam hati karena di sebuah wawancara lain bersama Solo Radio (22 Maret 2018), ia mengaku bahwa referensi musik yang dipakainya untuk menggarap album ini sarat oleh katalog dari genre musik RnB. Iya, Rhythm n Blues, jenis musik hasil kawin silang jazz, gospel dan blues yang lahir dari kalangan Afro-Amerika itu! Carilah output-nya di album ini. Ketemu ndak? Saya sih engga.

Halim (kiri) jadi sosok paling bertanggung jawab atas 'kekacauan' dari band ini
Meski begitu, belakangan saya baru menyadari bahwa spirit bermusik secara punk lah yang ingin Halim tonjolkan, bukan mentah-mentah menafsirkan punk dalam artian musik jurus tiga chord. Contohnya saja, Halim berkali-kali mengingatkan peniup trumpet Ahmad Mursyid untuk meniup secara liar dan serampangan, alih-alih teratur layaknya sebuah orkestra. Mursyid tentu saja bingung bukan buatan. Dalam disiplin ilmu yang ia kuasai, setiap not ada teori dan asal-muasalnya. Namun di mata Halim, teori ada untuk dilanggar, dan segala hal yang baku perlu ditinggalkan saja di bangku sekolah musik.

Saya rasa, Halim ingin membangun kekacauan yang terstruktur. Terdengar kacau dan saling tabrak saat didengarkan, namun tak dinyana sekaligus teratur secara sistematis. Bangsat betul memang paman satu ini. Tak habis pikir saya dibuatnya. Ia bahkan pernah berkata pada saya bahwa part yang ia mainkan akan dominan oleh pola chord, sehingga siapapun bisa saja menggantikannya kalau ia berhalangan. Ah, tapi saya yakin hal itu tidak mungkin terjadi. Siapa pula yang merasa sanggup memainkan pola gitar yang amburadul seperti itu? Tapi setidaknya ia benar, jika membandingkan dengan karya-karyanya di Cranial Incisored, permainan gitar Halim di LeftyFish terasa lebih mudah dan masuk akal untuk dimainkan. Walaupun tentu saja tidak demikian adanya.

Seksi tiup


Pada album ini, LeftyFish tidak mengajak serta saxophonist Keke Ode Naomi dikarenakan Keke sedang dipusingkan oleh keperluan akademisnnya. Sementara pemain trumpet Bergas (turut mengisi di EP ‘You, Fish!’) ataupun Erson Padapiran (membantu LeftyFish saat menjadi penampil di album launching kelompok Energy Nuclear) dipastikan absen. Adalah Ahmad Mursyid dan Bayu Atmojo dari kelompok Auretté and The Polska Seeking Carnival yang kemudian menjadi duo pengisi brass section dengan Mursyid sebagai peniup trumpet dan Bayu meniup trombone. Keduanya memang sudah kawakan bermain musik tiup, namun bermain dalam sebuah band yang menjunjung tinggi kekacauan dalam struktur musiknya tentu menjadi pengalaman baru bagi keduanya.

Mursyid saat take trumpet
Alhasil, Mursyid maupun Bayu berulangkali menemui jalan buntu dan mungkin nyaris patah arang, sementara Halim sendiri kesulitan untuk menyampaikan isi pikirannya dalam Bahasa musik yang dipahami oleh Mursyid maupun Bayu. Beruntung, Winan lagi-lagi datang sebagai penyelamat. Ia men-direct seksi tiup dengan bantuan keyboard, sekaligus merapikan bagian-bagian yang tidak sesuai tempo. 
Bayu saat mengisi layer trombone
Jujur, saya sendiri sampai habis kesabaran dan memutuskan tidak mengambil lebih banyak lagi footage video perekaman instrument tiup saking kerapnya terjadi pengulangan take. Saya memilih turun dari studio dan menikmati secangkir kopi bersama Arya. Jadi kalau kamu amat menikmati isian musik tiup di album ‘Hello Kittie’s Spank’, jangan salah, prosesnya berdarah-darah, rumit dan tidak secepat durasi lagunya. Bahkan Winan pun mengatakan pada Halim bahwa dibutuhkan peran seorang konduktor untuk memimpin brass section jika Halim jadi bermaksud melengkapi pasukan tiupnya dengan tambahan saxophone dan horn.

Menjadi ibu penuh-waktu dalam sebuah band


Proses pembuatan album ini kian terasa ‘punk’ saat saya tahu bahwa vokalis Fransisca Ayu ternyata sama sekali tidak pernah mengikuti proses kreatif dalam menciptakan lagu-lagu baru dikarenakan kondisinya yang sedang berbadan dua kala itu. Otomatis, ia harus menggunakan daya imajinasinya untuk menempatkan lirik-lirik ganjil dalam tatanan musik yang tak kalah ganjilnya.

Lirik lagu boleh sederhana, tapi cara mengisinya bikin pusing
Kalau kamu sudah membeli album Hello Kittie’s Spank dan mencermati sheet liriknya, kamu akan menemukan bahwa lirik-lirik LeftyFish biasanya pendek saja dan berisi tentang hal-hal absurd macam perang layangan, menangkap belut di sawah, hingga perkara baterai ponsel yang tiris karena dimakan sinyal yang buruk.

Merekam vocal sambil gendong anak? Tanya Ayu caranya!
Namun sekali lagi, berkarya memang tidak semudah itu. Beberapa kali saya menyaksikan langsung betapa Ayu harus memeras otak untuk bisa menempatkan lirik secara presisi dalam aransemen musiknya. Ia harus tahu kapan waktu terbaik untuk berteriak bak nenek sihir dari neraka, bernyanyi genit macam gadis remaja yang baru puber, hingga berbisik-bisik lirih seperti ibu-ibu yang bertukar gosip. Dan itu semua ia lakukan sembari mengawasi anaknya yang masih belum bisa lepas jauh-jauh darinya! Tak jarang, proses merekam vokal harus dihentikan karena malam sudah terlalu larut, atau sang buah hati sudah tak bisa dibujuk lagi untuk tetap tenang dalam pengawasan ayahnya.

Artwork dan label


Masih seperti sebelumnya, LeftyFish setia bermain dengan artwork yang kekanak-kanakan dan jauh dari kesan-kesan seram. Karakter Hello Kitty yang imut, lucu, dan meggemaskan diubah jadi garang dan gemar membawa perkakas ‘berbahaya’ macam golok dan mesin bor. Secara pribadi, saya agak ragu dengan legalitas penggunaan karakter dari Sanrio tersebut. Namun setidaknya, artwork buatan Ahmad Miqdad Alfaya ini masih bisa ngeles dengan mengatakan bahwa karakter di album LeftyFish bernama Hello Kittie, bukan Hello Kitty.

Hello Kittie, bukan Hello Kitty

Berhubung saya sudah kenal Halim sejak era album pertama Cranial Incisored, maka saya amat yakin bahwa ia tak kan begitu saja rela merilis album ini tanpa memberikan hadiah tambahan. Bagi kamu yang melakukan pre-order CD album ini, maka akan mendapatkan bonus 3D hologram yang cukup kolektibel. Walau bonus ini mengingatkan kita pada penggaris mika hologram di zaman SD yang terlihat sederhana, saya tahu pasti bahwa butuh banyak trial and error untuk membuat bonus 3D hologram ini bisa direalisasikan. Sebetulnya Halim punya konsep bonus lain yang tak kalah menarik. Sayang ada satu dan lain hal yang membuatnya belum bisa diwujudkan. Doakan saja semoga bisa hadir di album LeftyFish selanjutnya. Haha.

Elephant Tatsumaki Recordings menggantikan Hitam Kelam Records
Untuk album ini, Hitam Kelam Records tak lagi menjadi label LeftyFish dan digantikan oleh Elephant Tatsumaki Recordings. Elephant Tatsumaki sendiri adalah sebuah nickname yang identik dengan Halim. Kalau tak percaya, tengok saja gitar yang dipakai Halim dan lihat apa yang tertera di atas fretboard. Tapi bukan itu intinya. Anggap saja bahwa Elephant Tatsumaki Recordings adalah sebuah personifikasi dari keinginan LeftyFish untuk merilis sendiri albumnya. Mereka toh sudah paham peta pasar konsumennya dan tahu persis celah-celah apa yang bisa disasar untuk mendistribusikan album ini.

Akhir kata, saya memang tidak bisa mereview album ini. Tapi saya bisa bercerita tentang proses rekaman album ini. Di tengah gempuran industri musik yang serba digital dan kian banyaknya label yang tiarap, keberanian merilis album fisik tentu layak diapresiasi. Oh ya, konon LeftyFish juga akan melepas album ini dalam format kaset yang dirilis oleh kolaborasi Jizzlobber Records dan Tarung Records pada Records Store Day nanti. Nantikan saja!



Wednesday 29 April 2015

Lefty Fish: Mainan Baru Halim Budiono yang Tidak Main - Main

Saya berjumpa lagi dengan Halim Budiono awal Maret silam setelah setidaknya enam bulan berselang. Ketika itu, gitaris Cranial Incisored ini menanyakan kabar kepastian kepulangan final saya dari merantau. Dalam pesan yang saya terima via BBM, ia mengatakan bahwa dirinya tak ada kegiatan di atas jam 9 malam dan ingin menunjukkan sesuatu pada saya. Saya mengiyakan ajakannya untuk bersua, dan kami memutuskan untuk bertemu di Knock! Hangspot di dekat kolese John De Britto.

Mendengar Hephaestus dan Lefty Fish

Jam menunjukkan pukul 10 malam, dan Halim datang dengan membawa kejutan. Usai memesan minuman, ia mengeluarkan handphone dan headset. Sejenak saya merasa harus waspada. Benar saja, Halim menawarkan saya untuk mendengar demo dari dua side project-nya, Hephaestus dan Lefty Fish.

Untuk Hephaestus, saya sudah tidak begitu asing. Terlebih duo Halim Budiono dan Wiman Rizkidarajat (belakangan Johanes Arya dari Deadly Weapon kabarnya meminang posisi drummer di Hephaestus) sudah pernah melepas single pada Record Store Day tahun lalu. Maka ketika mendengarkan demo terbarunya, saya tidak terlalu terkejut, meskipun saya berkata padanya bahwa demo terbaru Hephaestus terasa lebih segar dari yang sebelumnya.

Lanjut ke demo selanjutnya, Halim meminta saya benar-benar bersiap dulu sebelum mendengarkan. Tak hentinya dia meminta saya tidak mendengarkan headset sambil berbincang. Dia meminta saya fokus. Oke, saya tahu kalau dia punya mainan baru. Beberapa waktu sebelumnya Halim membocorkan kegiatan rekaman band bernama Lefty Fish via Instagram yang terkoneksi ke Facebooknya. Dalam beberapa video pendek yang diunggahnya, tampak penggunaan elemen keyboard dan trumpet serta vokalis wanita. Waktu itu saya lebih cenderung mengomentari sound gitarnya yang kian gahar ketimbang memusingkan diri menebak seperti apa musik yang diusung si Ikan Kidal ini.

Tombol play ditekan. Dalam lagu yang nantinya saya ketahui berjudul Code Name: Mosquito ini suara trumpet membuka lagu dengan manis. Lalu semesta saya luluh lantak. Bangsat, paman tua nakal ini membabat habis telinga saya dengan mainan barunya ini! Suara vokal ala mbak-mbak unyu yang kadang berubah jadi nenek lampir dari Neraka menyalak-nyalak diantara gerungan gitar dan drum yang super bising dipadukan dengan keyboard dan trumpet yang kadang tampil nakal, seperti dimainkan oleh pelajar sekolah musik yang frustasi namun anehnya, enak untuk didengarkan berulang-ulang. Malam itu saya meminta Halim mengulang-ulang lagi semua tracks Lefty Fish yang diperdengarkannya pada saya dan saya puas.

Halim hanya cengengesan saja melihat ekspresi saya usai mendengarkan semua lagu Lefty Fish. Saya Cuma bilang satu hal dengan nada bercanda padanya: “Cranial Incisored sudah boleh bubar dengan tenang dan terhormat”. Bukan tanpa sebab saya berkata seperti ini. Lebaran tahun lalu saya berjumpa dengan Didiet Henry, vokalis Cranial Incisored yang berkata pada saya bahwa Incisored sudah setahun tidak menyambangi studio, baik untuk berlatih maupun merekam lagu baru. Juga tak ada jadwal manggung yang biasa saya jumpai melalui laman Facebook Halim. Ketika saya kroscek langsung pada Halim, ia hanya mengatakan “ya gitu deh,” yang tentu saja membuat die-hard fan macam saya menjadi geram. Maka ketika Halim menyuguhkan mainan barunya yang sedikit seperti Incisored era album pertama namun dengan sentuhan yang berbeda, baik dari absennya posisi pemain bass maupun penggunaan elemen tiup dan keyboard, saya cukup bahagia meski berharap dalam hati agar Cranial Incisored tak perlu sampai bubar nantinya. Jangan. Jangan sampai.

Proses Cuci Otak

Halim hanya tertawa mendengar komentar saya tadi. Seolah membelokkan arah pembicaraan, dia menyasar komentar saya tentang permainan gitarnya yang mengingatkan saya pada album pertama Incisored, “ya mungkin karena ini baru, energinya masih meledak-ledak dan fresh, jadi kaya waktu dulu garap album Rebuild” (Rebuild: The Unfinished Interpretation of Irrational Behavior – album pertama Cranial Incisored).

Halim melanjutkan ceritanya tentang proses penggarapan band ini. Sudah sejak lama saya tahu kalau dia bermimpi mempunyai band dengan alat musik tiup. Tak heran, setahu saya dia cukup menggilai John Zorn dan Naked City-nya, pun Melt Banana yang nuansa musiknya juga bisa ditemui sambil lalu pada Lefty Fish. Maka ketika di tahun 2007 silam dia berkata pada saya mampu membuat band yang lebih gila dari Cranial Incisored, saya percaya dan sedikit banyak berpikiran bahwa tipikal band yang saya sebut di atas lah yang akan digadangnya. Maklum, dari sekian band dan proyek yang diikutinya, hanya yang bertipikal di atas saja yang belum pernah saya saksikan kemunculannya dalam karya-karyanya, meskipun Cranial Incisored pernah membawa pemain keyboard, trumpet bahkan synthesizer dalam live performance-nya.

Halim mengatakan, proses pembentukan karakter adalah bagian awal yang tersulit, karena ia menggandeng beberapa nama dari dunia Metal yang belum terbiasa bermain dalam hitungan ganjil sepertinya. Halim mencontohkan dengan keberatannya pada drummer Andi Wahyu Purbono jika ia menyelipkan pukulan khas Death Metal, bahkan menolak lanjut ke bilik rekaman jika tak kunjung mendapatkan pemain trumpet. Beruntung akhirnya ia menemukan orang yang sesuai keinginannya setelah mendapat masukan dari Iqbal Lubis, gitaris Sangkakala.

Tak hanya itu, untuk pemilihan nama pun Halim tidak mau proyekannya ini dinamai nama-nama seram berdarah. Entah bagaimana akhirnya hingga nama Lefty Fish tercuat, namun saya menduga Halim memakai contoh nama Melt Banana maupun Naked City sebagai pertimbangan. Maksudnya, persetan dengan arti filosofis, nama harus unik dan tidak perlu sangar ataupun nyambung yang penting singkat, padat, jelas, fuck you. Pada salah satu kesempatan, saya bahkan berkelakar di laman Facebooknya bahwa Lefty Fish adalah ikan penganut Marxisme, suka kekiri-kirian [:p].
Foto: Facebook Lefty Fish


Hephaestus Atau Lefty Fish?

Obrolan saya dengan Halim di Knock! Berakhir pada pukul satu dini hari. Pada mulanya Halim mengatakan akan merilis lebih dahulu single terbaru Hephaestus secara bebas unduh di akun Soundcloudnya baru kemudian melepas single Lefty Fish. Ia beralasan, biarkan publik dibebani dulu dengan Hephaestus dan mencernanya habis baru digebrak ulang dengan Lefty Fish. Saya menyatakan keberatan, karena publik sudah lebih dulu mengenal Hephaestus. Si Ikan Kidal ini masih segar dan tak perlu menunggu lama-lama untuk mencuat ke permukaan, begitu alasan saya. Entahlah apa pertimbangan Halim setelah saya katakan hal itu, karena selanjutnya memang single Lefty Fish lah yang akhirnya ia keluarkan pertama kali, menyusul kemudian single anyar Hephaestus.

Sejarah Dimulai

Nyaris dua bulan kemudian sejak pertemuan saya dengan Halim, akhirnya di suatu pagi saya melihat ia memajang pamflet gigs perdana Lefty Fish di Baby Blues Cafe dalam rangka album launching YK\\DK dan Energy Nuclear pada laman Facebook personalnya. Akhirnya, saya akan bisa melihat langsung aksi mereka!

Tepat pada hari yang dinantikan (25/4), saya sudah berada di Baby Blues cafe, Jl. Bantul, Yogyakarta. Jam masih menunjukkan pukul 7.15 ketika saya memasuki venue. Baby Blues cafe tampil seperti kafe-kafe yang kerap disewa EO kolektif lokal di tahun 2006-2009 dulu, kecil dan perangkat tata suara seadanya.

Saya mengirim pesan singkat kepada Halim perihal suasana kafe. Halim hanya menanggapinya dengan tertawa dan berkata sedang dalam perjalanan. Lefty Fish nampaknya akan terlambat. Benar saja, ketika nama Lefty Fish sudah dipanggil, mereka masih belum datang. Panggung sempat reses sejenak dan banyak pengunjung yang keluar sekedar mencari angin.

Selang beberapa menit kemudian, datanglah rombongan Lefty Fish. Saya langsung menghampiri Halim dan menawarkan bantuan sekedarnya. Jujur saya agak khawatir dengan perangkat tata suara panggung. Maklum, Halim memakai gitar 7-strings ukuran besar yang diset downtuned dengan senar nomor 7 disetem seperti senar 8 yang pastinya berfrekuensi rendah dan sungguh aduh biyung eman-eman kalau dipasangkan dengan sound system yang hemhemhem~

Tapi nampaknya ia sendiri tak ambil pusing. Terbukti dengan pergerakannya yang langsung melakukan direct gitar ke dua output ampli tanpa banyak melakukan set-up. Saya kurang memperhatikan pergerakan para koleganya karena terlalu sibuk membantunya ngolor kabel. Maka begitu semua kelar, saya segera cari posisi aman untuk menikmati aksi Lefty Fish.

Foto: maharddhika.wordpress.com
Biduanita Fransisca Ayu masuk ke panggung dengan santai dan membuka sesi pertunjukan mereka dengan sambutan lemah lembut yang menurut salah satu ulasan, seperti suara mbak-mbak customer service atau pemberitahuan saat pintu theater dibuka pada salah satu jaringan bioskop besar di Indonesia.


Saya mengambil tempat di pojok kanan panggung, beberapa langkah di belakang keyboardist Andi Haryono dan sedikit di sebelah drummer Bono. Begitu lagu pertama dimulai, saya cuma tertawa terbahak-bahak, bahagia dan puas luar biasa. Tak hentinya saya cuma membatin di dalam hati, “bangsat, bangsat, bangsaaaaaaat! Keren!”

Rasanya, hampir seluruh gig goers yang hadir juga merasakan gairah yang sama dengan yang saya rasakan. Saya merasakan kembali gairah yang dulu pernah saya dapati kala pertama kali mengenal Cranial Incisored. Maka dengan ini saya memastikan untuk merapatkan diri dalam barisan penggemar fanatik Lefty Fish, dan tentunya sambil berharap bahwa ini bukan proyek eskapisme Halim saja dari hiatusnya Cranial Incisored.

Godspeed!


Wednesday 8 October 2014

The Odds Of Getting Event - Gitar

Pada suatu kala, saya berpikir untuk gaya-gayaan membuat sebuah video bermain gitar dengan membawakan bagian gitar pada lagu dari band saya, Lex Luthor the Hero. Mulanya saya berpikir untuk memainkan Bunuh Teman Bermuka Dua, sebuah nomor yang paling sering kami  bawakan tiap kali manggung. Saya bimbang sendiri, lagu ini mempunyai dua versi berbeda yang masing-masing dapat didengar baik di album pertama A Random Act of Violence (2009) maupun album kedua Between the Living and the Dead (2011). Versi kedua adalah favorit saya karena lebih garang dan cara Jay bernyanyi lebih macho. Tapi versi pertama juga adalah versi yang unik, karena memasukkan unsur musik yang komikal pada bagian interlude. Akhirnya saya batal memilih lagu ini.

Pilihan kedua saya ada pada It's Just A Game. Sebuah tembang yang lumayan ugal-ugalan karena menolak bermain aman, mencampurkan Southern Rock, Folks, Metal, Trash bahkan sedikit sentuhan melodius a la Metalcore. Sekali lagi saya terpaksa menggugurkan pilihan ini mengingat lagu ini cukup rumit pada bagian solo yang berlayer 3 lapis. Malas rasanya mengedit video yang menyempilkan scene kecil di sudut yang menggambarkan progresi solo gitar. Ya, saya memang pemalas.

Sempat saya ingin membawakan I'm Mess, You're Disaster tapi lagi-lagi ada kendala, dimana pada bagian solo gitar saya memainkannya menggunakan steel slide. Dan saya sudah lama sekali kehilangan steel slide saya. Maka cukup jelas bukan, mengapa lagu ini tak jadi dimainkan.

Setelah menimbang-nimbang, The Odds of Getting Event nampaknya paling mudah direalisasikan. Mengingat durasinya tak panjang, dan lagu ini lumayan catchy. Yup, saya memutuskan untuk memainkan lagu ini. Segera saja saya siapkan kamera, mengatur posisi duduk dengan beberapa kali mengambil self-picture dalam posisi bermain gitar, sekedar untuk memastikan bahwa posisi saya sudah pas dalam frame. Maklum, saya mengerjakannya sendiri dengan alat seadanya. Tak lupa saya membuka banyak tirai agar pencahayaan alami masuk, meskipun tidak maksimal yang bisa dilihat dari masih adanya noise yang muncul pada video hasil akhirnya.

Tanpa basa basi, saya segera saja merekam gambar dalam 3 angles  berbeda menggunakan kamera mirrorless Sony Nex-3. 1 dari depan, 1 dari samping kiri atas dan 1 dari samping kanan bawah. Hasil perekaman gambar digabungkan menjadi satu dengan Cyberlink Powerdirector 11.

Secara teknis, lagu ini cukup mudah dimainkan. Lagu ini dimainkan dalam seteman drop D dengan senar berpenampang paling kecil 0,10mm. Pada proses rekaman aslinya, saya menggunakan gitar Scechter Diamond Series dengan pick up orisinil Scechter yang disambungkan ke POD XT Live dan berujung di Marshall JCM 900. Juru rekam kami (waktu itu adalah WisnuJahat, vokalis-gitaris dari band punk Peach 6012) menyarankan saya agar merekam dalam 2 track, untuk track utama dimainkan dalam posisi pick up selector pada pick up bridge dan untuk track layernya dimainkan dalam posisi pick up selector berada di center atau kombinasi bridge-neck. Hasil akhirnya bisa teman-teman lihat dan dengarkan pada video berikut ini. Selamat menyaksikan








Tuesday 24 June 2014

Tahun Adu Domba


Tahun 2014 adalah tahun politik. Tahun dimana pesta (katanya) demokrasi 5 tahunan kembali digelar untuk memilih Presiden – Wakil Presiden Indonesia selanjutnya. Sepanjang karier kepemilihan saya yang baru seumur jagung, baru kali ini rasanya momentum Pemilihan Umum menjadi sedemikian menyebalkan dari segala sisi. Ada beberapa hal yang terjadi selama berlangsungnya masa kampanye membuat saya bertanya-tanya, apakah benar kita sudah merdeka?
 Kenapa hal tersebut patut kita pertanyakan?

Pertama, sebagai bekas negara jajahan yang sekian ratus tahun terbiasa dibodohi, dicurangi dan dikuras habis kekayaannya, maka alam bawah sadar kita berkata bahwa melakukan hal serupa adalah suatu kelumrahan. Wajar dan bisa diterima. Ya, tentu saja kita semua tahu bahwa membodohi orang, mencurangi bahkan sampai menggasak kekayaan negara adalah perbuatan tidak benar. Tapi toh saya hakkul yakin, kita semua pernah melakukan hal-hal warisan jaman penjajahan itu terlepas apapun bentuknya. Bahkan senioritas di kampus kala masa orientasipun bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk warisan jaman kolonial yang merugikan itu. Maka relasinya dalam tahun politik ini adalah munculnya orang-orang yang berlomba-lomba melakukan pembodohan massal, mendiskreditkan orang-orang yang dianggap tak kompeten secara intelejensia sebagai pihak awam dan menudingnya bodoh memilih Capres yang tak senada dengan pilihannya. Bagi saya pribadi, mengkultuskan seseorang secara berlebihan lalu memakai beragam daya upaya untuk membenarkan pengkultusannya tersebut adalah sebenar-benarnya kebebalan, karena telinga dan mata hati kita akan otomatis memproteksi diri dari segala macam kritik dan koreksi, bahkan yang sifatnya membangun sekalipun.

linimasa Ahmad Dhani

linimasa Wimar Witoelar
Kedua, praktik devide et impera atau politik memecah-belah, adu domba a la era kolonial juga nyata-nyata sedang diterapkan dalam masa yang sarat kampanye hitam ini. Memutar-balikkan fakta secara lisan dianggap tak cukup. Maka riset dokumentasi dari masa lalu dikumpulkan, diterjemahkan secara sepihak tafsirnya lalu dipelintir untuk menjadi artikel berbahaya yang intinya mempertanyakan hal yang sama: “Masih mau Lu, milih orang kaya gini?”. Berhubung tak semua orang rela meluangkan waktu untuk membaca artikel analisis yang sarat kutipan, maka orang-orang kereatif  (ya, memang saya tulis ‘kereatif’, dimana saya artikan secara serampangan sebagai kere atau miskin ide tapi mau sok berkreasi) dengan sigap dan cekatan membuat meme dari nukilan dokumentasi foto yang dibuat dengan tujuan menjatuhkan ataupun menaikkan pamor salah satu Capres. Saya masih saja dibuat kagum atas cepatnya daya berpikir saudara-saudara sebangsa kita yang bisa dengan cepat melihat suatu momentum yang sedang berlangsung sebagai kesempatan untuk membuat ‘karya’ baru yang entah disengaja atau tidak, bisa direlasikan sebagai jalan menyebarkan kampanye kecil-kecilan. Kawan-kawan mungkin masih ingat saat Debat Capres episode kedua dimana Joko Widodo memberikan pertanyaan seputar TPID kepada Prabowo. 
Baru sekitar 5 menit saya kelar mendapatkan info TPID dari Google, saat itu pula di social media Path sudah muncul meme mengenai TPID dengan berbagai kepanjangannya, baik yang sekedar komedi maupun yang menjurus pada penyerangan sepihak pada salah satu Capres. Luar biasa sumber daya manusia bangsa ini dengan kecepatan nalarnya dalam membidik issue untuk diangkat. Sayangnya hanya dipakai untuk membuat sesuatu yang sifatnya temporer. Andaikan daya imajinasi mereka digunakan untuk memberikan sumbangsih bagi negeri komedi ini, nampaknya siapapun Presidennya, kita akan tetap mampu melaju kearah yang berkualitas.

***

Banyak kawan yang mengutarakan keengganannya terlibat dalam pesta demokrasi. Menjadi golput ataupun habis-habisan mencibir euphoria 5 tahunan ini. Beberapa dari mereka yang masih ragu bertanya kepada saya, meminta pertimbangan pada siapa sebaiknya mereka memilih. Saya pribadi mendukung Jokowi, tapi kepada mereka saya hanya menjawab, “Putuskan dengan bertanya pada nuranimu”. Mengapa demikian? Karena saya menginginkan mereka menjadi pemilih yang bertanggungjawab terhadap pilihannya. Salah satu alasan mengapa saya tertarik mengamati situasi politik karena kekecewaan saya dulu memilih SBY pada periode pertamanya. Seperti kebanyakan orang, saya memilih SBY karena SBY kala itu muncul sebagai kuda hitam dari lawan-lawan politiknya yang sudah lebih dahulu berkecimpung dan memiliki track record yang agaknya mengecewakan. Maka kala itu saya rasa SBY adalah agen perubahan. Tapi kita semua akhirnya tahu, apa yang kita dapatkan dalam 2 periode kepemimpinannya yang penuh dengan ungkapan “Saya prihatin”.

Kembali pada apa yang saya tuliskan di atas, menjadi pemilih yang bertanggungjawab artinya kita memilih karena kita sudah mempelajari perjalanannya, track recordnya, tidak sebatas karena si A nampaknya tegas dan berwibawa atau si B nampaknya orang yang merakyat. Tidak sesederhana itu. Tak kenal maka tak sayang. Maka kita harus mengenali baik-baik siapa yang akan kita pilih. Jika informasi yang beredar sudah sedemikian simpang-siurnya dan tumpang-tindih antara fakta dan rekayasa, maka jalan terakhirnya adalah bertanya pada nuranimu sendiri.

Meski saya mendukung Jokowi, saya tak menampik ada orang-orang kotor dengan kepentingan kotor pula yang membonceng padanya. Begitupun sebaliknya, Prabowo yang tak habis-habis jadi bahan cemoohan karena dugaan keterlibatannya dalam pelanggaran HAM dan menurut beberapa orang diboncengi sekelompok orang-orang oportunis pun ternyata juga mendapat dukungan dari beberapa tokoh baik yang sepak terjangnya juga baik. Maka kita tak bisa seenaknya berkata si A baik, didukung orang-orang baik. Si B kotor, pendukungnya pun orang-orang kotor. Jika kita berpikir demikian, maka kita melakukan generalisasi sepihak. Lalu apa bedanya kita dengan orang-orang yang kita tuduh otoriter? Lebih dari itu semua, saya hanya ingin menyampaikan kegelisahan saya akan situasi politik yang makin memuakkan ini. Terbiasa dipecah-belah ratusan tahun menjadikan kita juga mudah dipecah-belah bahkan oleh anak-anak bangsa sendiri. Maka marilah kita memilih berdasarkan apa yang kita yakini layak dipilih, bukan karena kita termakan kampanye negatif tak bertanggungjawab yang belakangan ini makin santer saja bertiup di kedua kubu. Belajarlah untuk melakukan riset sendiri, berlatih menganalisis issue yang beredar, dan belajarlah menerima fakta.

Pada akhirnya, golput tetap bukan solusi. Saya harap teman-teman juga tidak memilih golput, karena seperti kata Bertolt Brecht, “Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional."

Selamat menentukan pilihan

Tuesday 25 February 2014

Ode Untuk John

Beberapa teman bertanya, mengapa saya teramat memuja John Frusciante. Menurut mereka, John tak memiliki teknik shredding yang mumpuni sebagaimana seorang virtuoso gitar. John pasti kalah cepat jika diajak adu balap menggerayangi leher gitar dengan Paul Gilbert atau Herman Li.

Ya, benar. Mereka benar. Saya yakin John sendiri tak terlalu menyukai bermain cepat. Namun sudah bisa dipastikan bahwa John mampu memainkan sesuatu yang ‘keluar dari dalam hati’. Bahkan saat Red Hot Chili Peppers era John sedang live perform, John tak pernah memainkan solo gitar yang persis seperti dalam rekamannya. Ini bisa dibilang mirip dengan B.B. King yang juga selalu memainkan solo yang berbeda pada tiap pertunjukannya. Bedanya, spontanitas B.B. King adalah spontan yang terpola, sedangkan spontanitas a la John Frusciante adalah spontan yang benar-benar nekat. Improvisasinya selalu sebenar-benarnya improvisasi, semacam hanya bermodal paham scale pentatonik lalu menerapkannya begitu saja sambil coba-coba. Terbukti, pada suatu kali kesempatan live, senar gitar John putus tepat di tengah-tengah solo yang belum selesai. Meski sempat jeda beberapa detik, John spontan mengalihkannya pada senar-senar yang ada, melakukan repetisi nada berulang kali sebelum akhirnya beranjak ke nada lainnya yang mungkin dimainkan dalam wilayah nada yang sedang berjalan. Kalau tak pernah terbiasa bermain spontan, tentu saja John akan mandeg begitu saja sambil bengong melihat senarnya putus.

Rasanya kurang jika saya hanya mengatakan hal-hal di atas sebagai dasar pemujaan saya padanya. Kalau begitu, mari, saya ajak kalian menuju suatu masa tergelap dari hidup seseorang yang bangkit merangkak dari lembah nista menuju puncak kejayaan untuk kemudian terbang ke dalam wilayah non-definitif.

Melongok Balik ke Tahun 1994

“…..I don’t destroy my body, I feel great. If I didn’t feel great I’d change the way I live, I’d start running or something, I feel great. I have lots of energy, I’m writing all the time, writing music all the time, developing my brain, widening my appreciation of art of all kinds and being a nicer person…..always working on being a nicer person.”

Pernyataan diatas dikutip dari wawancara Vpro dengan John Frusciante circa1994, kurang lebih 2 tahun setelah John meninggalkan Red Hot Chili Peppers kali pertama. Pernyataan yang keluar dari seorang junkie, tentu saja tak dapat dipercaya. Boleh jadi John merasa dirinya baik-baik saja. Boleh jadi dia merasa dibukakan jalan menuju inspirasi tiada batas.

Tapi John tidak baik-baik saja.

Lengannya penuh dengan needle tracks dan giginya nampak membusuk dalam wawancara itu. Perhatikan juga bola matanya yang tampak menyembul keluar, seakan ingin melompat dari tempatnya. Bahkan John bernyanyi dengan teramat sumbang saat dia mencoba menyanyikan beberapa lagu. Permainannya pada gitar Martin Vintage kepunyaannya juga nampak payah dan tak beraturan. Sulit rasanya percaya album Blood Sugar Sex Magik—yang meroketkan popularitas Red Hot Chili Peppers dan membawa nama John Frusciante sebagai salah satu gitaris muda brilian yang layak diperhitungkan— itu lahir dari permainan gitarnya.
Betapa John masuk ke dalam pola hidup self-destructive yang enggan diakuinya. John berkeras bahwa menjadi junkie bukanlah suatu masalah baginya, dan John dengan senang hati mengakuinya.

“so you want me to say something soulful? Drugs. I’m a junkie and I love shooting up and that means I’m self-destructive and…is that good enough?”

Kala itu Kurt Cobain sudah lebih dahulu meninggal, dan si pewawancara menanyai John tentang tanggapannya pada apa yang terjadi dengan Kurt Cobain. John berkata bahwa ia menangis saat mendengar berita kematian Kurt (meski dengan jelas John berkata tak menyukai musik Nirvana). Ia menangis karena menyesalkan perihal bunuh diri Kurt yang mana diasumsikan oleh John sebagai tindakan yang tak bertanggungjawab sebagai seorang ayah.
JF di video klip Scar Tissue


 I just don’t see why he wouldn’t want to see his daughter grow up. With a baby you can tell them funny jokes when they’re two and they’ll love it, you can teach them about how everyone’s an idiot and they’ll love it”

“Everything I…..like my record is dedicated to Clara…..she’s the smartest person I’ve ever met,” ujar John menambahkan (Clara adalah anak dari pemain bass Red Hot Chili Peppers, Flea).

Nampak jelas bahwa si penanya bermaksud merelasikan bunuh diri Kurt dengan kegiatan self destructive John: konsumsi heroin dengan dosis besar dan terus meningkat. Hal ini wajar, mengingat baik John Frusciante maupun Kurt Cobain sama-sama mengalami depresi akibat mendadak tenar. Keduanya sama-sama menolak berada di puncak, bahkan John sempat berkata bahwa dia lebih menyukai Red Hot Chili Peppers tetap manggung di klub-klub kecil ketimbang harus tampil di panggung besar berskala stadion. John dan Kurt juga sama-sama beralih ke obat bius sebagai pelarian. Bedanya adalah, ketika Kurt memilih mengakhiri hidupnya akibat tak kuat dengan depresi yang di deritanya, John memilih survive, tetap berkarya meskipun bisa dibilang tak terlalu sukses. Album solo keduanya bahkan ditarik dari peredaran karena John mengeluarkan pernyataan bahwa album itu dibuat untuk membeli heroin.

Dalam salah satu kegilaan masa mudanya, John konon tak sengaja membakar rumahnya dan mengakibatkannya mengalami luka bakar cukup serius pada beberapa bagian tubuh dan kehilangan beberapa gitar serta dokumentasi karyanya. Pada saat John kembali bergabung dengan Red Hot Chili Peppers pada tahun 1998, dia membawa Fender Jaguar Red Fiesta 1963, satu-satunya gitar yang tersisa miliknya. Anthony Kiedis, vokalis Red Hot Chili Peppers memberinya sebuah Stratocaster 1962, gitar yang akhirnya paling sering dipakai John sepanjang kariernya bersama Red Hot Chili Peppers di kemudian hari. Gitar ini menjadi hadiah atas kembalinya John ke dalam formasi Red Hot Chili Peppers.

Saya bersyukur bahwa John tidak mati overdosis, atau bahkan bunuh diri. Dalam wawancara dengan Vpro bisa kita saksikan bahwa John menyibukkan diri dengan melukis, menulis naskah, dan merekam album solonya. Saya tak bisa bilang bahwa karya-karyanya saat itu adalah masterpiece. Saya malah lebih setuju bila karya-karyanya itu disebut karya mabuk, dan tak usahlah kita sok avant-garde bilang lengkingan teriakannya di album solonya Niandra Lades and Usually Just a T-Shirt adalah seni abstrak.

Tapi itulah kehebatan seorang John Frusciante. Dia tak larut dalam dunia halusinasi yang berkepanjangan. Dia memutuskan rehabilitasi dan tetap produktif serta tak peduli apakah karyanya mendapat pengakuan publik atau tidak. Dia hanya ingin berkarya, sebagaimana seharusnya seorang seniman berkarya. Seniman berkarya untuk memuaskan dahaganya sendiri yang meluap akan hasrat berkesenian, bukannya menjadi robot korporasi yang memikirkan keuntungan semata atau statistik peningkatan jumlah penggemar.

Maka saat John sekali lagi memutuskan untuk meninggalkan Red Hot Chili Peppers, saya bisa memahami kepergiannya. Berada di puncak kerap kali melenakan. Terutama bagi mereka yang enggan meninggalkan zona nyaman. John Frusciante, adalah sosok yang selalu berevolusi dan melakukan eksplorasi dalam wilayah yang tak terduga, bahkan mungkin bagi dirinya sendiri.

I, salute you, Mr. Frusciante

Friday 24 January 2014

Ilana

ILANA
Cerpen Dozan Alfian
               Aku telah lama tahu bahwa uang mampu membeli banyak hal sekaligus tak mampu membeli banyak hal lainnya. Uang menjadikan segala hal serupa dengannya, mempunyai dua sisi berlawanan yang saling mutualis. Seperti apa yang saat ini sedang terjadi, aku baru saja membeli tubuh dan harga diri seorang perempuan. Aku baru saja mengasah ulang serta menajamkan lagi naluri kebinatanganku, menumpahkan segala hasrat dan nafsu birahiku pada perempuan yang telentang pasrah menerima hujaman-hujaman cabul dariku. Aku begitu bernafsu, kontra dengan apa yang kulihat dari perempuan itu. Dia hanya memejamkan matanya, dan sesekali melenguh— yang kurasa hanya rintihan palsu saja— lebih seperti kesopanan semata. Bagaimanapun juga, sundal selalu belajar untuk berpura-pura menikmati persetubuhannya. Semakin cepat si hidung belang menuntaskan hajatnya, semakin cepat pula siksa batin yang ditanggungkannya. Dan seperti kita semua tahu, lelaki manapun mudah kalah pada desahan yang nakal. Membuat kemaluan sekeras apapun akan segera lunglai memuntahkan benih-benihnya.
                Tidak ada cinta dalam pergumulan itu. Aku sendiri menginginkan suatu keintiman yang nyata. Oke, belaian-belaian yang dijuruskannya padaku untuk menggugah kelelakianku memang harus kuakui kualitas wahid, mampu menderaskan aliran darah dan menyalakan batang celaka tempat Iblis bernaung, tapi apa daya, aku merasa sedang bergulat dengan diriku sendiri. Perempuan itu selalu berusaha merangsangku agar penyatuan badani ini lekas usai, sebaliknya aku ingin berlama-lama sambil sesekali berusaha memagut bibirnya. Namun perempuan itu selalu mengelak dengan tersenyum, kau bisa menjamah apa saja dari tubuhku selain bibirku, ujarnya. Aku mendengus kesal seperti anak kecil tak dituruti keinginannya membeli mainan. Namun kuselesaikan juga birahiku, memindahkan benih-benihku kedalam rahimnya dan berakhir jatuh kedalam pelukannya.
                “Mengapa aku tak bisa mencumbumu di bibir?”
                “Karena aku tak kenal kau, dan kau tak kenal aku.”
                “Tapi aku membayarmu mahal,” ujarku sengit.
Perempuan itu tertawa. Oh ya, aku tidak tahu namanya.

                “Ya, kau membayarku mahal, dan pelayananku padamu pun kelas 1. Kau tak bisa memungkiri itu. Hanya saja, kita sudah sepakat bukan, kau bisa menjamah seluruh tubuhku, tapi tidak bibirku. Kalau kau mau, kau bahkan boleh memagut leherku hingga merah kalau itu bisa menggantikan hasratmu pada bibirku.”
                Aku terdiam dan memandang matanya. Perempuan ini cantik sebenarnya. Tubuhnya pun menggiurkan. Tak ada jakun lelaki yang tak akan naik-turun dan tak ada liur lelaki tak menetes demi melihat keindahan tubuhnya. Maka aku tak keberatan membayar lebih untuk sekedar 2-3 jam bermain cinta dengannya. Aku bergerak bangkit dari ranjang, mengambil sebatang rokok dan menyulutnya lalu memilih duduk di sofa kamar hotel. Ekor mataku masih memandang ke arahnya.
                “Setidaknya, beritahu aku namamu.”
                Perempuan itu bangkit menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Buah dadanya yang ranum menjuntai bebas di hadapanku.
                “Rasanya tak perlu ada nama. Kalaupun aku berikan sebuah nama padamu, aku rasa kau tahu bahwa aku akan memakai nama samaran. Nama yang terdengar mesum dan menggoda. Seperti nama wanita penghibur kebanyakan.”
                “Kalau begitu katakanlah. Aku tak keberatan dengan nama samaran. Setidaknya agar aku lebih mudah memanggilmu. “
                Perempuan itu tersenyum, menunduk sejenak sambil membetulkan letak selimut yang membungkus bagian bawah tubuhnya.
                “Daripada kita menghabiskan waktu sekedar berbicara nama dan negosiasi cumbu, bukankah lebih baik kau kembali ke ranjang dan menjamah tubuhku?”
                “Ya, aku akan kembali menjamah tubuhmu. Tapi nanti. Sekarang aku ingin sekedar bercakap-cakap denganmu.”
                “Bercakap-cakap?”
                “Ya, bercakap-cakap. Aku bahkan rela membayar lagi jika bercakap-cakap denganmu pun membutuhkan biaya tambahan. Sebutkan saja berapa, aku akan bayar.”
                “Apakah semua pria selalu seperti ini? Menganggap wanita sepertiku hanya objek pemuas nafsu yang bisa dibayar sesuka hati? Karena kau membayarku untuk bercinta denganmu, bukan berarti kau bisa memberi label harga pada setiap layanan yang kau mau.”
                “Aku.. tidak, tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya mencoba masuk kedalam dirimu, mencoba membuat kita semua nyaman. Untuk itulah aku mengajakmu bercakap-cakap. Justru karena aku tak ingin menganggapmu sebagai…”
                “Pelacur?”
                “..sebagai teman tidur semata.”
                “Pelacur kedengaran lebih normal daripada ‘teman tidur’.”
                “Ya, ya, ya, pelacur kalau begitu. Kalau itu maumu.”
                Perempuan itu tertawa, lalu bangkit dan membiarkan selimut yang membungkusnya terlepas jatuh ke lantai. Dia menghampiriku, berjalan ke arahku bagaikan patung Venus The Milo yang anggun. Tubuhnya bagai pualam.
Aku birahi lagi.
Dia berdiri di depanku, merebut rokok yang masih menyala di jariku untuk kemudian di matikan. Dia membungkuk dan kini wajah kami hanya terpaut 10 cm saja. Dia tersenyum dan bergerak maju. Kami berciuman. Berpagutan. Dan dalam keadaan yang demikian itu, aku merasa mencintainya, memilikinya dan merasa dekat sekali dengannya.
                Tak ada yang pernah bilang padaku bahwa French kiss itu bisa sebasah ini.

**

                “Itu tadi gratis. Kau tak perlu membayar lagi. Tak perlu memberi tips apapun. Anggap saja upah karena kau begitu menggemaskan dan terlalu banyak bicara.”
                Aku tertawa. Sungguh, aku masih ingin melumat bibirnya. Entah mengapa, cinta dan nafsu bisa begitu bersisian dan jika keduanya digabungkan, tak ada batas-batas kasat mata yang bisa kau lihat. Aku hanya merasa mencintainya. Tapi di lain sisi, aku juga berhasrat padanya.
                “Lalu, siapa namamu?”
                “Kau sudah mendapatkan bibirku dan masih butuh namaku?”
                “Ya. Karena aku rasa kita akan sering bertemu lagi nantinya.”
                Dia tak menjawab, tetapi menarik tanganku dan mengajakku kembali naik ranjang. Kami bersetubuh lagi. Kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Aku rasa, jika persetubuhan yang pertama adalah orientasi yang acuh, maka kali kedua ini adalah ledakan yang intim. Persetubuhan kami berakhir dengan aku memeluk erat tubuhnya yang bersandar di dadaku. Kami berdua sibuk dengan pikiran kami masing-masing dan terjadi jeda beberapa waktu sebelum akhirnya perempuan itu membuka percakapan;
                “Namaku Ilana. Itu saja yang kau perlu panggil, dan kuharap tak ada pertanyaan lagi.”
                Aku tersenyum dan mengecup keningnya,
                “Terimakasih Ilana,“ dan lampu kamar pun meredup untuk kemudian mati menidurkan kami dalam kegelapan yang damai.
**

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More