Telepon itu bernada riang, makhluk cantik di seberang sana asyik berceloteh dengan lincahnya. Kata - kata meluncur dengan perlahan masuk di telingaku, pelan, sungguh pelan dan mulai menusuki aku jengkal demi jengkal.
Sakit, sayang. Sakit dan sedikit mulai terasa perih menjalar.
Siapa aku? bukankah kita semua sama? sepadan dan setara pada mata yang mengawasi di atas sana?
Mengapa mereka berkata seperti itu?
Dan berpasang-pasang mata yang menyorot tajam padaku. mengukirkan goresan luka.
Oh, tidak cukup hanya luka, sayang. Masih ada bingkisan asam garam menghiasi luka yang menganga, membusuk, menunggu untuk mati di tengah jalan. Terhempas angin, jadi debu, tak ada kompromi.
Masih adakah syarat lain yang mereka ajukan padaku hanya demi melanjutkan sejarah?
Perlukah aku berlutut, membungkuk, bersujud, mereguk debu dari telapak kaki penindas mimpi?
Apakah salahku jika hidupku seperti ini? atau salah Bunda membesarkanku? salah Ayahku mewariskan aku sebagai bagian dari peradabanmu?
Aku sudah cacat. Terkapar tergerus demi mendengar suara manismu yang menggelitik telingaku.
Kau tak perlu ceritakan itu. Sungguh tak perlu.
Aku bisa berdiri sendiri, sayang. Kau yang tak bisa. Kau ada dibawah bayang - bayang mereka, manusia - manusia berakal budi dan bernurani putih yang menaungimu hingga saatnya nanti tiba untuk kau mulai belajar berjalan sendiri.....
Oh ya, aku tidak dendam pada mereka. Tidak....
Hanya kuharap mereka mau sedikit berwelas asih dan membijaksanakan diri untuk melepas belenggu pikiran komikal mereka.....
0 comments:
Post a Comment