Saya
berjumpa lagi dengan Halim Budiono awal Maret silam setelah setidaknya enam
bulan berselang. Ketika itu, gitaris Cranial Incisored ini menanyakan kabar
kepastian kepulangan final saya dari merantau. Dalam pesan yang saya terima via
BBM, ia mengatakan bahwa dirinya tak ada kegiatan di atas jam 9 malam dan ingin
menunjukkan sesuatu pada saya. Saya mengiyakan ajakannya untuk bersua, dan kami
memutuskan untuk bertemu di Knock! Hangspot di dekat kolese John De Britto.
Mendengar Hephaestus dan Lefty Fish
Jam
menunjukkan pukul 10 malam, dan Halim datang dengan membawa kejutan. Usai
memesan minuman, ia mengeluarkan handphone
dan headset. Sejenak saya merasa
harus waspada. Benar saja, Halim menawarkan saya untuk mendengar demo dari dua side project-nya, Hephaestus dan Lefty
Fish.
Untuk
Hephaestus, saya sudah tidak begitu asing. Terlebih duo Halim Budiono dan Wiman
Rizkidarajat (belakangan Johanes Arya dari Deadly Weapon kabarnya meminang
posisi drummer di Hephaestus) sudah
pernah melepas single pada Record Store Day tahun lalu. Maka ketika
mendengarkan demo terbarunya, saya tidak terlalu terkejut, meskipun saya
berkata padanya bahwa demo terbaru Hephaestus terasa lebih segar dari yang sebelumnya.
Lanjut ke
demo selanjutnya, Halim meminta saya benar-benar bersiap dulu sebelum
mendengarkan. Tak hentinya dia meminta saya tidak mendengarkan headset sambil berbincang. Dia meminta
saya fokus. Oke, saya tahu kalau dia punya mainan baru. Beberapa waktu
sebelumnya Halim membocorkan kegiatan rekaman band bernama Lefty Fish via
Instagram yang terkoneksi ke Facebooknya. Dalam beberapa video pendek yang
diunggahnya, tampak penggunaan elemen keyboard dan trumpet serta vokalis
wanita. Waktu itu saya lebih cenderung mengomentari sound gitarnya yang kian gahar ketimbang memusingkan diri menebak
seperti apa musik yang diusung si Ikan Kidal ini.
Tombol play ditekan. Dalam lagu yang nantinya
saya ketahui berjudul Code Name: Mosquito ini suara trumpet membuka lagu dengan
manis. Lalu semesta saya luluh lantak. Bangsat, paman tua nakal ini membabat
habis telinga saya dengan mainan barunya ini! Suara vokal ala mbak-mbak unyu yang kadang berubah jadi
nenek lampir dari Neraka menyalak-nyalak diantara gerungan gitar dan drum yang
super bising dipadukan dengan keyboard dan trumpet yang kadang tampil nakal,
seperti dimainkan oleh pelajar sekolah musik yang frustasi namun anehnya, enak
untuk didengarkan berulang-ulang. Malam itu saya meminta Halim mengulang-ulang
lagi semua tracks Lefty Fish yang
diperdengarkannya pada saya dan saya puas.
Halim hanya cengengesan saja melihat ekspresi saya
usai mendengarkan semua lagu Lefty Fish. Saya Cuma bilang satu hal dengan nada
bercanda padanya: “Cranial Incisored sudah boleh bubar dengan tenang dan
terhormat”. Bukan tanpa sebab saya berkata seperti ini. Lebaran tahun lalu saya
berjumpa dengan Didiet Henry, vokalis Cranial Incisored yang berkata pada saya
bahwa Incisored sudah setahun tidak menyambangi studio, baik untuk berlatih
maupun merekam lagu baru. Juga tak ada jadwal manggung yang biasa saya jumpai melalui laman Facebook Halim. Ketika
saya kroscek langsung pada Halim, ia hanya mengatakan “ya gitu deh,” yang tentu
saja membuat die-hard fan macam saya
menjadi geram. Maka ketika Halim menyuguhkan mainan barunya yang sedikit seperti
Incisored era album pertama namun dengan sentuhan yang berbeda, baik dari
absennya posisi pemain bass maupun penggunaan elemen tiup dan keyboard, saya
cukup bahagia meski berharap dalam hati agar Cranial Incisored tak perlu sampai
bubar nantinya. Jangan. Jangan sampai.
Proses Cuci Otak
Halim hanya
tertawa mendengar komentar saya tadi. Seolah membelokkan arah pembicaraan, dia
menyasar komentar saya tentang permainan gitarnya yang mengingatkan saya pada
album pertama Incisored, “ya mungkin karena ini baru, energinya masih
meledak-ledak dan fresh, jadi kaya
waktu dulu garap album Rebuild” (Rebuild: The Unfinished Interpretation of
Irrational Behavior – album pertama Cranial Incisored).
Halim
melanjutkan ceritanya tentang proses penggarapan band ini. Sudah sejak lama
saya tahu kalau dia bermimpi mempunyai band dengan alat musik tiup. Tak heran,
setahu saya dia cukup menggilai John Zorn dan Naked City-nya, pun Melt Banana yang nuansa musiknya juga bisa ditemui sambil lalu pada Lefty Fish. Maka ketika
di tahun 2007 silam dia berkata pada saya mampu membuat band yang lebih gila
dari Cranial Incisored, saya percaya dan sedikit banyak berpikiran bahwa
tipikal band yang saya sebut di atas lah yang akan digadangnya. Maklum, dari
sekian band dan proyek yang diikutinya, hanya yang bertipikal di atas saja yang
belum pernah saya saksikan kemunculannya dalam karya-karyanya, meskipun Cranial
Incisored pernah membawa pemain keyboard, trumpet bahkan synthesizer dalam live
performance-nya.
Halim
mengatakan, proses pembentukan karakter adalah bagian awal yang tersulit,
karena ia menggandeng beberapa nama dari dunia Metal yang belum terbiasa
bermain dalam hitungan ganjil sepertinya. Halim mencontohkan dengan
keberatannya pada drummer Andi Wahyu
Purbono jika ia menyelipkan pukulan khas Death Metal, bahkan menolak lanjut ke
bilik rekaman jika tak kunjung mendapatkan pemain trumpet. Beruntung akhirnya
ia menemukan orang yang sesuai keinginannya setelah mendapat masukan dari Iqbal
Lubis, gitaris Sangkakala.
Tak hanya
itu, untuk pemilihan nama pun Halim tidak mau proyekannya ini dinamai nama-nama
seram berdarah. Entah bagaimana akhirnya hingga nama Lefty Fish tercuat, namun
saya menduga Halim memakai contoh nama Melt Banana maupun Naked City sebagai
pertimbangan. Maksudnya, persetan dengan arti filosofis, nama harus unik dan
tidak perlu sangar ataupun nyambung
yang penting singkat, padat, jelas, fuck
you. Pada salah satu kesempatan, saya bahkan berkelakar di laman
Facebooknya bahwa Lefty Fish adalah ikan penganut Marxisme, suka kekiri-kirian
[:p].
Foto: Facebook Lefty Fish |
Hephaestus Atau Lefty Fish?
Obrolan saya
dengan Halim di Knock! Berakhir pada pukul satu dini hari. Pada mulanya Halim
mengatakan akan merilis lebih dahulu single
terbaru Hephaestus secara bebas unduh di akun Soundcloudnya baru kemudian
melepas single Lefty Fish. Ia
beralasan, biarkan publik dibebani dulu dengan Hephaestus dan mencernanya habis
baru digebrak ulang dengan Lefty Fish. Saya menyatakan keberatan, karena publik
sudah lebih dulu mengenal Hephaestus. Si Ikan Kidal ini masih segar dan tak
perlu menunggu lama-lama untuk mencuat ke permukaan, begitu alasan saya.
Entahlah apa pertimbangan Halim setelah saya katakan hal itu, karena
selanjutnya memang single Lefty Fish
lah yang akhirnya ia keluarkan pertama kali, menyusul kemudian single anyar Hephaestus.
Sejarah Dimulai
Nyaris dua
bulan kemudian sejak pertemuan saya dengan Halim, akhirnya di suatu pagi saya
melihat ia memajang pamflet gigs
perdana Lefty Fish di Baby Blues Cafe dalam rangka album launching YK\\DK
dan Energy Nuclear pada laman Facebook personalnya. Akhirnya, saya akan bisa
melihat langsung aksi mereka!
Tepat pada
hari yang dinantikan (25/4), saya sudah berada di Baby Blues cafe, Jl. Bantul,
Yogyakarta. Jam masih menunjukkan pukul 7.15 ketika saya memasuki venue. Baby Blues cafe tampil seperti
kafe-kafe yang kerap disewa EO kolektif lokal di tahun 2006-2009 dulu, kecil
dan perangkat tata suara seadanya.
Saya
mengirim pesan singkat kepada Halim perihal suasana kafe. Halim hanya
menanggapinya dengan tertawa dan berkata sedang dalam perjalanan. Lefty Fish
nampaknya akan terlambat. Benar saja, ketika nama Lefty Fish sudah dipanggil,
mereka masih belum datang. Panggung sempat reses sejenak dan banyak pengunjung
yang keluar sekedar mencari angin.
Selang
beberapa menit kemudian, datanglah rombongan Lefty Fish. Saya langsung
menghampiri Halim dan menawarkan bantuan sekedarnya. Jujur saya agak khawatir
dengan perangkat tata suara panggung. Maklum, Halim memakai gitar 7-strings ukuran besar yang diset downtuned dengan
senar nomor 7 disetem seperti senar 8 yang pastinya berfrekuensi rendah dan sungguh aduh biyung eman-eman kalau dipasangkan
dengan sound system yang hemhemhem~
Tapi
nampaknya ia sendiri tak ambil pusing. Terbukti dengan pergerakannya yang
langsung melakukan direct gitar ke
dua output ampli tanpa banyak
melakukan set-up. Saya kurang
memperhatikan pergerakan para koleganya karena terlalu sibuk membantunya ngolor kabel. Maka begitu semua kelar,
saya segera cari posisi aman untuk menikmati aksi Lefty Fish.
Foto: maharddhika.wordpress.com |
Biduanita
Fransisca Ayu masuk ke panggung dengan santai dan membuka sesi pertunjukan
mereka dengan sambutan lemah lembut yang menurut salah satu ulasan, seperti suara mbak-mbak customer service atau pemberitahuan saat pintu theater dibuka pada salah satu jaringan bioskop besar di Indonesia.
Saya
mengambil tempat di pojok kanan panggung, beberapa langkah di belakang keyboardist Andi Haryono dan sedikit di
sebelah drummer Bono. Begitu lagu
pertama dimulai, saya cuma tertawa terbahak-bahak, bahagia dan puas luar biasa.
Tak hentinya saya cuma membatin di dalam hati, “bangsat, bangsat,
bangsaaaaaaat! Keren!”
Rasanya,
hampir seluruh gig goers yang hadir
juga merasakan gairah yang sama dengan yang saya rasakan. Saya merasakan
kembali gairah yang dulu pernah saya dapati kala pertama kali mengenal Cranial
Incisored. Maka dengan ini saya memastikan untuk merapatkan diri dalam barisan
penggemar fanatik Lefty Fish, dan tentunya sambil berharap bahwa ini bukan
proyek eskapisme Halim saja dari hiatusnya Cranial Incisored.
Godspeed!
0 comments:
Post a Comment