Beberapa
teman bertanya, mengapa saya teramat memuja John Frusciante. Menurut mereka,
John tak memiliki teknik shredding
yang mumpuni sebagaimana seorang virtuoso
gitar. John pasti kalah cepat jika diajak adu balap menggerayangi leher gitar
dengan Paul Gilbert atau Herman Li.
Ya,
benar. Mereka benar. Saya yakin John sendiri tak terlalu menyukai bermain
cepat. Namun sudah bisa dipastikan bahwa John mampu memainkan sesuatu yang
‘keluar dari dalam hati’. Bahkan saat Red Hot Chili Peppers era John sedang live perform, John tak pernah memainkan
solo gitar yang persis seperti dalam rekamannya. Ini bisa dibilang mirip dengan
B.B. King yang juga selalu memainkan solo yang berbeda pada tiap
pertunjukannya. Bedanya, spontanitas B.B. King adalah spontan yang terpola,
sedangkan spontanitas a la John Frusciante adalah spontan yang benar-benar
nekat. Improvisasinya selalu sebenar-benarnya improvisasi, semacam hanya
bermodal paham scale pentatonik lalu
menerapkannya begitu saja sambil coba-coba. Terbukti, pada suatu kali
kesempatan live, senar gitar John putus tepat di tengah-tengah solo yang belum
selesai. Meski sempat jeda beberapa detik, John spontan mengalihkannya pada
senar-senar yang ada, melakukan repetisi nada berulang kali sebelum akhirnya
beranjak ke nada lainnya yang mungkin dimainkan dalam wilayah nada yang sedang
berjalan. Kalau tak pernah terbiasa bermain spontan, tentu saja John akan mandeg begitu saja sambil bengong
melihat senarnya putus.
Rasanya
kurang jika saya hanya mengatakan hal-hal di atas sebagai dasar pemujaan saya
padanya. Kalau begitu, mari, saya ajak kalian menuju suatu masa tergelap dari
hidup seseorang yang bangkit merangkak dari lembah nista menuju puncak kejayaan
untuk kemudian terbang ke dalam wilayah non-definitif.
Melongok
Balik ke Tahun 1994
“…..I
don’t destroy my body, I feel great. If I didn’t feel great I’d change the way
I live, I’d start running or something, I feel great. I have lots of energy,
I’m writing all the time, writing music all the time, developing my brain,
widening my appreciation of art of all kinds and being a nicer person…..always
working on being a nicer person.”
Pernyataan diatas dikutip dari
wawancara Vpro dengan John Frusciante circa1994, kurang lebih 2 tahun setelah John meninggalkan Red Hot Chili Peppers kali
pertama. Pernyataan yang keluar dari seorang junkie, tentu saja tak dapat dipercaya. Boleh jadi John merasa
dirinya baik-baik saja. Boleh jadi dia merasa dibukakan jalan menuju inspirasi
tiada batas.
Tapi John tidak baik-baik saja.
Lengannya penuh dengan needle tracks dan giginya nampak
membusuk dalam wawancara itu. Perhatikan juga bola matanya yang tampak
menyembul keluar, seakan ingin melompat dari tempatnya. Bahkan John bernyanyi
dengan teramat sumbang saat dia mencoba menyanyikan beberapa lagu. Permainannya
pada gitar Martin Vintage kepunyaannya juga nampak payah dan tak beraturan.
Sulit rasanya percaya album Blood Sugar Sex Magik—yang meroketkan popularitas
Red Hot Chili Peppers dan membawa nama John Frusciante sebagai salah satu
gitaris muda brilian yang layak diperhitungkan— itu lahir dari permainan
gitarnya.
Betapa John masuk ke dalam pola
hidup self-destructive yang enggan
diakuinya. John berkeras bahwa menjadi junkie
bukanlah suatu masalah baginya, dan John dengan senang hati mengakuinya.
“so you want me to say something
soulful? Drugs. I’m a junkie and I love shooting up and that means I’m
self-destructive and…is that good enough?”
Kala itu Kurt Cobain sudah lebih
dahulu meninggal, dan si pewawancara menanyai John tentang tanggapannya pada
apa yang terjadi dengan Kurt Cobain. John berkata bahwa ia menangis saat
mendengar berita kematian Kurt (meski dengan jelas John berkata tak menyukai musik
Nirvana). Ia menangis karena menyesalkan perihal bunuh diri Kurt yang mana diasumsikan
oleh John sebagai tindakan yang tak bertanggungjawab sebagai seorang ayah.
JF di video klip Scar Tissue |
“I
just don’t see why he wouldn’t want to see his daughter grow up. With a baby
you can tell them funny jokes when they’re two and they’ll love it, you can
teach them about how everyone’s an idiot and they’ll love it”
“Everything I…..like my record is
dedicated to Clara…..she’s the smartest person I’ve ever met,” ujar
John
menambahkan (Clara adalah anak dari pemain bass Red Hot Chili Peppers, Flea).
Nampak
jelas bahwa si penanya bermaksud merelasikan bunuh diri Kurt dengan kegiatan self destructive John: konsumsi heroin
dengan dosis besar dan terus meningkat. Hal ini wajar, mengingat baik John
Frusciante maupun Kurt Cobain sama-sama mengalami depresi akibat mendadak
tenar. Keduanya sama-sama menolak berada di puncak, bahkan John sempat berkata
bahwa dia lebih menyukai Red Hot Chili Peppers tetap manggung di klub-klub kecil ketimbang harus tampil di panggung
besar berskala stadion. John dan Kurt juga sama-sama beralih ke obat bius
sebagai pelarian. Bedanya adalah, ketika Kurt memilih mengakhiri hidupnya
akibat tak kuat dengan depresi yang di deritanya, John memilih survive, tetap berkarya meskipun bisa
dibilang tak terlalu sukses. Album solo keduanya bahkan ditarik dari peredaran
karena John mengeluarkan pernyataan bahwa album itu dibuat untuk membeli
heroin.
Dalam
salah satu kegilaan masa mudanya, John konon tak sengaja membakar rumahnya dan
mengakibatkannya mengalami luka bakar cukup serius pada beberapa bagian tubuh
dan kehilangan beberapa gitar serta dokumentasi karyanya. Pada saat John
kembali bergabung dengan Red Hot Chili Peppers pada tahun 1998, dia membawa
Fender Jaguar Red Fiesta 1963, satu-satunya gitar yang tersisa miliknya.
Anthony Kiedis, vokalis Red Hot Chili Peppers memberinya sebuah Stratocaster
1962, gitar yang akhirnya paling sering dipakai John sepanjang kariernya
bersama Red Hot Chili Peppers di kemudian hari. Gitar ini menjadi hadiah atas
kembalinya John ke dalam formasi Red Hot Chili Peppers.
Saya
bersyukur bahwa John tidak mati overdosis, atau bahkan bunuh diri. Dalam wawancara
dengan Vpro bisa kita saksikan bahwa John menyibukkan diri dengan melukis,
menulis naskah, dan merekam album solonya. Saya tak bisa bilang bahwa
karya-karyanya saat itu adalah masterpiece.
Saya malah lebih setuju bila karya-karyanya itu disebut karya mabuk, dan tak
usahlah kita sok avant-garde bilang
lengkingan teriakannya di album solonya Niandra Lades and Usually Just a T-Shirt
adalah seni abstrak.
Tapi
itulah kehebatan seorang John Frusciante. Dia tak larut dalam dunia halusinasi
yang berkepanjangan. Dia memutuskan rehabilitasi dan tetap produktif serta tak
peduli apakah karyanya mendapat pengakuan publik atau tidak. Dia hanya ingin
berkarya, sebagaimana seharusnya seorang seniman berkarya. Seniman berkarya
untuk memuaskan dahaganya sendiri yang meluap akan hasrat berkesenian, bukannya
menjadi robot korporasi yang memikirkan keuntungan semata atau statistik
peningkatan jumlah penggemar.
Maka
saat John sekali lagi memutuskan untuk meninggalkan Red Hot Chili Peppers, saya
bisa memahami kepergiannya. Berada di puncak kerap kali melenakan. Terutama bagi
mereka yang enggan meninggalkan zona nyaman. John Frusciante, adalah sosok yang
selalu berevolusi dan melakukan eksplorasi dalam wilayah yang tak terduga,
bahkan mungkin bagi dirinya sendiri.
I,
salute you, Mr. Frusciante
1 comments:
Aku tak bisa berkata kata lagi kalau ngomongin soal john, dia adalah musisi hebat. Tapi menurutku dibalik semua karya" nya yang hebat ada peran yang paling berpengaruh yaitu imajinasinya yang indah. Hehehe salam dari sesama penggemar John!
Post a Comment