Tahun 2014 adalah
tahun politik. Tahun dimana pesta (katanya) demokrasi 5 tahunan kembali digelar
untuk memilih Presiden – Wakil Presiden Indonesia selanjutnya. Sepanjang karier
kepemilihan saya yang baru seumur jagung, baru kali ini rasanya momentum
Pemilihan Umum menjadi sedemikian menyebalkan dari segala sisi. Ada beberapa
hal yang terjadi selama berlangsungnya masa kampanye membuat saya
bertanya-tanya, apakah benar kita sudah merdeka?
Kenapa hal
tersebut patut kita pertanyakan?
Pertama,
sebagai bekas negara jajahan yang sekian ratus tahun terbiasa dibodohi,
dicurangi dan dikuras habis kekayaannya, maka alam bawah sadar kita berkata
bahwa melakukan hal serupa adalah suatu kelumrahan. Wajar dan bisa diterima.
Ya, tentu saja kita semua tahu bahwa membodohi orang, mencurangi bahkan sampai
menggasak kekayaan negara adalah perbuatan tidak benar. Tapi toh saya hakkul yakin, kita semua pernah
melakukan hal-hal warisan jaman penjajahan itu terlepas apapun bentuknya.
Bahkan senioritas di kampus kala masa orientasipun bisa dikategorikan sebagai salah
satu bentuk warisan jaman kolonial yang merugikan itu. Maka relasinya dalam
tahun politik ini adalah munculnya orang-orang yang berlomba-lomba melakukan
pembodohan massal, mendiskreditkan orang-orang yang dianggap tak kompeten
secara intelejensia sebagai pihak awam dan menudingnya bodoh memilih Capres yang
tak senada dengan pilihannya. Bagi saya pribadi, mengkultuskan seseorang secara
berlebihan lalu memakai beragam daya upaya untuk membenarkan pengkultusannya
tersebut adalah sebenar-benarnya kebebalan, karena telinga dan mata hati kita
akan otomatis memproteksi diri dari segala macam kritik dan koreksi, bahkan
yang sifatnya membangun sekalipun.
linimasa Ahmad Dhani |
linimasa Wimar Witoelar |
Kedua, praktik
devide et impera atau politik
memecah-belah, adu domba a la era kolonial juga nyata-nyata sedang diterapkan
dalam masa yang sarat kampanye hitam ini. Memutar-balikkan fakta secara lisan
dianggap tak cukup. Maka riset dokumentasi dari masa lalu dikumpulkan,
diterjemahkan secara sepihak tafsirnya lalu dipelintir untuk menjadi artikel
berbahaya yang intinya mempertanyakan hal yang sama: “Masih mau Lu, milih orang
kaya gini?”. Berhubung tak semua orang rela meluangkan waktu untuk membaca
artikel analisis yang sarat kutipan, maka orang-orang kereatif (ya, memang saya
tulis ‘kereatif’, dimana saya artikan
secara serampangan sebagai kere atau
miskin ide tapi mau sok berkreasi)
dengan sigap dan cekatan membuat meme dari
nukilan dokumentasi foto yang dibuat dengan tujuan menjatuhkan ataupun
menaikkan pamor salah satu Capres. Saya masih saja dibuat kagum atas cepatnya
daya berpikir saudara-saudara sebangsa kita yang bisa dengan cepat melihat
suatu momentum yang sedang berlangsung sebagai kesempatan untuk membuat ‘karya’
baru yang entah disengaja atau tidak, bisa direlasikan sebagai jalan
menyebarkan kampanye kecil-kecilan. Kawan-kawan mungkin masih ingat saat Debat
Capres episode kedua dimana Joko Widodo memberikan pertanyaan seputar TPID
kepada Prabowo.
Baru sekitar 5 menit saya kelar mendapatkan info TPID dari
Google, saat itu pula di social media Path sudah muncul meme mengenai TPID dengan berbagai kepanjangannya, baik yang
sekedar komedi maupun yang menjurus pada penyerangan sepihak pada salah satu
Capres. Luar biasa sumber daya manusia bangsa ini dengan kecepatan nalarnya
dalam membidik issue untuk diangkat. Sayangnya
hanya dipakai untuk membuat sesuatu yang sifatnya temporer. Andaikan daya
imajinasi mereka digunakan untuk memberikan sumbangsih bagi negeri komedi ini,
nampaknya siapapun Presidennya, kita akan tetap mampu melaju kearah yang
berkualitas.
***
Banyak kawan
yang mengutarakan keengganannya terlibat dalam pesta demokrasi. Menjadi golput
ataupun habis-habisan mencibir euphoria
5 tahunan ini. Beberapa dari mereka yang masih ragu bertanya kepada saya,
meminta pertimbangan pada siapa sebaiknya mereka memilih. Saya pribadi mendukung
Jokowi, tapi kepada mereka saya hanya menjawab, “Putuskan dengan bertanya pada
nuranimu”. Mengapa demikian? Karena saya menginginkan mereka menjadi pemilih
yang bertanggungjawab terhadap pilihannya. Salah satu alasan mengapa saya
tertarik mengamati situasi politik karena kekecewaan saya dulu memilih SBY pada
periode pertamanya. Seperti kebanyakan orang, saya memilih SBY karena SBY kala
itu muncul sebagai kuda hitam dari lawan-lawan politiknya yang sudah lebih
dahulu berkecimpung dan memiliki track
record yang agaknya mengecewakan.
Maka kala itu saya rasa SBY adalah agen perubahan. Tapi kita semua akhirnya
tahu, apa yang kita dapatkan dalam 2 periode kepemimpinannya yang penuh dengan
ungkapan “Saya prihatin”.
Kembali pada
apa yang saya tuliskan di atas, menjadi pemilih yang bertanggungjawab artinya
kita memilih karena kita sudah mempelajari perjalanannya, track recordnya, tidak sebatas karena si A nampaknya tegas dan
berwibawa atau si B nampaknya orang yang merakyat. Tidak sesederhana itu. Tak kenal
maka tak sayang. Maka kita harus mengenali baik-baik siapa yang akan kita
pilih. Jika informasi yang beredar sudah sedemikian simpang-siurnya dan
tumpang-tindih antara fakta dan rekayasa, maka jalan terakhirnya adalah
bertanya pada nuranimu sendiri.
Meski saya
mendukung Jokowi, saya tak menampik ada orang-orang kotor dengan kepentingan
kotor pula yang membonceng padanya. Begitupun sebaliknya, Prabowo yang tak
habis-habis jadi bahan cemoohan karena dugaan keterlibatannya dalam pelanggaran
HAM dan menurut beberapa orang diboncengi sekelompok orang-orang oportunis pun
ternyata juga mendapat dukungan dari beberapa tokoh baik yang sepak terjangnya juga
baik. Maka kita tak bisa seenaknya berkata si A baik, didukung orang-orang
baik. Si B kotor, pendukungnya pun orang-orang kotor. Jika kita berpikir
demikian, maka kita melakukan generalisasi sepihak. Lalu apa bedanya kita
dengan orang-orang yang kita tuduh otoriter? Lebih dari itu semua, saya hanya
ingin menyampaikan kegelisahan saya akan situasi politik yang makin memuakkan
ini. Terbiasa dipecah-belah ratusan tahun menjadikan kita juga mudah
dipecah-belah bahkan oleh anak-anak bangsa sendiri. Maka marilah kita memilih
berdasarkan apa yang kita yakini layak dipilih, bukan karena kita termakan
kampanye negatif tak bertanggungjawab yang belakangan ini makin santer saja
bertiup di kedua kubu. Belajarlah untuk melakukan riset sendiri, berlatih
menganalisis issue yang beredar, dan
belajarlah menerima fakta.
Pada akhirnya, golput tetap bukan solusi. Saya harap teman-teman juga tidak memilih golput, karena seperti kata Bertolt Brecht, “Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional."
Selamat
menentukan pilihan
0 comments:
Post a Comment