Monday, 23 January 2012

Menolak Tunduk Pada Pembajakan

Berapa banyak dari kalian, wahai kaum independent fundamentalis, yang dapat bertahan hidup-menghidupi diri dan kelangsungan eksistensi band-mu dari menjual kepingan cakram padat di era digital ini?

Jika label-label besar saja kehilangan arah dan mengangkat tangan tanda menyerah kalah menghadapi mega pembajakan, tergerus oleh kemudahan pertukaran informasi di jagat maya, maka apakah artis berdikari macam kita musti segendang-sepenarian mengibarkan bendera putih kepada realitas?

Jawabannya adalah tidak!

Mari kita kaji. Label-label raksasa penguasa jagat permusikan mengalami pasang surut dalam penjualan rilisan fisik dari artis yang berlindung dibawah naungannya karena pembajakan, seperti berikut ini:

1. Pembajakan fisik menjadi fisik
Ini adalah masa dimana pita kaset dan CD orisinil kala itu masih menjadi konsumsi kaum menengah keatas. Katakanlah, mereka yang bukan termasuk golongan rawan pangan. Bagaimana tidak, jika sebuah rilisan fisik dibandrol seharga, katakanlah Rp 35.000 untuk sebuah CD lokal, maka berapa banyak dari kaum marjinal ikhlas tawakal menebus harga tersebut dan mengesampingkan hajat hidup lainnya? Atas dasar itulah kaum perompak kekayaan intelektual beramai-ramai membajak sebuah rilisan fisik dan dilabeli harga semurah mungkin, jauh dibawah standard kelayakan dan turun derajat dari kelas pertokoan menjadi kawasan kaki lima. Jika harga sebuah rilisan orisinil bisa untuk membeli sekitar 5-7 keping produk bajakan, maka wajarlah jika mayoritas membeli produk bajakan. Keinginan akan produk terpuaskan, hajat hidup pun tak terbengkalai.

2. Pembajakan fisik menjadi digital
Jaman sudah semakin maju, pemutar tembang portable macam discman ataupun walkman telah berganti ke era mp3 player ataupun ipod. Maka era pembajakan pun mengalami evolusi menuju era digital. Lapak kaki lima naik pangkat menjadi bilik-bilik internet cafe. Atas dasar berbagi rasa yang kurang bertanggung jawab, orang-perseorang bisa dengan mudahnya meretas, mengunggah lagi mengunduh suatu karya cipta intelektual ke media maya bernama internet. Disini semua bisa mengunggah bebas bea hanya bermodalkan koneksi internet yang lancar jaya. Bahkan album yang tidak dirilis di negara ini pun bisa dengan mudah kau dapatkan hanya dengan bermodal "klik" di ujung jari.

Atas dasar pembajakan itulah label-label tersebut pasang badan dan mengatur strategi pemasaran semisal fenomena One Hit Wonder. Ini adalah strategi dimana label mencari artis yang mempunyai karya dan dinilai layak orbit. Menghindari perjudian terlalu besar, label menciptakan album kompilasi dari banyak band pilihan dan menanti seleksi pasar, manakah yang menjadi megastar dari lagu yang tertera dalam kompilasi tersebut. Bisa juga mereka mereken sebuah lagu dari artis yang menaruh demo-nya ke pihak label. Karena merasa lagu tersebut layak jual, maka dirilislah single dari artis tersebut untuk kemudian dipromokan lalu dijual sebagai Ring Back Tone. Saya tentunya tak perlu menjelaskan lebih lanjut fenomena RBT semacam ini kan?

Lalu apa yang terjadi pada para pejuang bawah tanah? Tidak dipungkiri, beberapa minor label terpaksa gulung tikar karena tidak mampu menghidupi kelangsungannya dari penjualan fisik artis minor yang mereka tangani, selain dampak pembajakan yang juga menggejala di tubuh minor label.

Fat Mike dari NOFX pernah berkata, "Band bagus tidak perlu bergantung hidup dari hasil penjualan fisik. Band bagus bisa hidup dari tur ataupun penjualan merchandise resmi".
Yup, bocah tua nakal itu benar. Jika etos Do It Yourself sudah kau pahami dan kau pegang teguh, tak perlu itu kau risaukan penjualan fisik. Maaf, bukan berarti saya menganjurkan kalian, wahai golongan padat karya, untuk mengabaikan proses dokumentasi karya. Saya menyarankan kalian mengubah pola pikir dan sudut pandang. Nah!


Something Wrong dalam peluncuran Boxset album NESU
Begini, menjadi musisi independen justru mempunyai banyak keuntungan, semisal kebebasan berkarya tanpa ada batasan dari pihak-pihak tertentu, ataupun menjadi eksklusif, tergantung dari penyajian karya yang disampaikan. Inilah poin yang harus digali. Menjadi minor berarti anda dituntut menjadi lebih kreatif. Semakin kecil lingkup pemasaran, maka semakin erat kekeluargaan dan menumbuhkan die-hard fans yang militan dan religius dalam menjadikanmu berhala dunia. Beberapa band atau artis independen sudah menyadari ini dan mengubah taktik promosinya. Beberapa merilis rilisan fisik yang bersifat collectible item semisal sebuah paket boxset berisi CD dan bonus-bonus yang bersifat mendekatkan diri dan membangun jaringan dengan pendengar. Sejauh pengamatan saya, trend boxset ini mulai menjamur dan terbukti selalu laris diburu walaupun harganya jauh melebihi rilisan major label. Ini pertanda bahwa artis minor mempunyai posisi bargaining yang cukup kuat, selama karyanya memang tidak bak cendawan di musim hujan layaknya fenomena keseragaman yang terjadi di major label negara ini.


Spider's Last Moment
Spider's Last Moment misalnya, band progresif asal Jogja ini membuat gebrakan dengan membuat promo "Tentukan Harga Sesukamu" selama beberapa waktu di awal perilisan full album perdananya. Kamu bebas membeli CD mereka dengan harga semampu kantongmu dan sesopan akal budimu. Atau The Upstairs yang dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-63,"membebas-bea-kan” mini album (EP) mereka yang berisi enam lagu untuk di download secara gratis via yesnowave.com. Kemasan menarik serupa milik Naif yang merilis album dalam format digital dengan packaging berupa flash disk juga bisa dijadikan contoh. Kau selalu bisa menghidupi kehidupan keartisanmu dengan berbagai cara, seperti yang Fat Mike katakan di atas tadi.

Pada dasarnya, jika kamu memilih menjadi independen, maka kamu memilih untuk berkreasi out of the box. Pemikiran yang itu-itu saja dan sami mawon layak untuk di genosida dan angkat kaki segera sebelum bandmu dibangkrutkan oleh pemikiranmu yang monoton, karena sebenarnya pembajakan bisa jadi sarana tunggangan menyebarkan karyamu bahkan hingga ke pelosok paling terpencil sekalipun. Tinggal bagaimana kau memanfaatkan momentum dan membuka pikiran serta menjadikannya senjata untuk melebarkan sayap.

Selamat berkreasi

DOZAN ALFIAN

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More