Wednesday, 21 March 2012

5 Dosa Besar Era Post-Modernisme ala Spider’s Last Moment


Berbicara mengenai musik progresif, spontan terbayang lagu berdurasi panjang dan rentetan ajang unjuk kebolehan bermusik yang dilakukan oleh para punggawanya. Meski terdaftar sebagai salah satu kontingen pengusung progresif, Spider’s Last Moment (SLM) mematahkan persepsi umum tersebut dan menyajikan perspektif baru, baik secara musikal maupun tekstual, dimana album terbaru mereka The Arsonist Of Human Integrity merupakan sebuah album ‘konsep di dalam konsep’ yang bercerita mengenai tafsir post-modernism menurut mereka lengkap beserta iringan instrumental berprogresi nan presisi, jauh dari opini public tentang musik progresif selama ini.  Berikut ini petikan wawancara EAR dengan Wiman Rizkidarajat (Vokal), Aryo Baskoro Jati (Gitar), Kartiko Pandu Bawono (Drum) dan Murdyantanto (Bass) :
The Arsonist of Human Integrity mendapat banyak respon positif di beberapa media. Menurut kalian sendiri, bagaimana respon publik terhadap album ini?
Pandu (P) : Sampai saat ini respon publik sangat baik walaupun belum seperti yang saya harapkan..tapi saya pribadi sangat bersyukur..
Wiman (W) : Puji Tuhan kalau album ini dianggap mendapat respon positif di media. Saya pribadi senang akhirnya band saya seperti naik kelas. Dari merilis EP menjadi merilis LP.
Tanto (T) : Alhamdulillah yah, saya bersyukur karya kami mendapat respon positif, serasa sesuatuh bangetss.
Aryo (A) : Selama ini kami menemukan feedback yang baik tentang album ini, dan kami sangat bersyukur atas hal tersebut.

The Arsonist of Human Integrity menunjukkan progresi yang pesat dari EP A New Tradition dulu. Bisa ceritakan proses kreatifnya?

A : Proses pembuatan materi diawali dari saya dan kemudian diramu oleh Pandu dan Tanto di studio tidak lupa dibubuhi  lirik oleh Wiman untuk lebih sempurna. Proses kreatif ini sama seperti penggarapan EP kami sebelumnya, yang membedakan hanya pengetahuan dan kemampuan kami dalam bermusik saja.
W : Proses kreatif dari segi musik jelas Aryo yang bertanggung jawab, sedangkan Pandu dan Tanto menyempurnakan di dalam studio. Saya hanya diberi tugas oleh Aryo membuat lirik yang satu tema yang saya garap semampu saya. Penggarapan materi berlangsung sangat lama, itu kendalanya. Seingat saya, ada lagu berformat trilogi, bagian pertama trilogi selesai pada akhir 2008, dan kami baru menyelesaikan semua materi album di awal 2011, hehehe lama sekali.
P : Ya sederhananya adalah kami masing-masing belajar dan memperkaya ilmu kami dalam bermusik dan kami menuangkan semua yang kami pelajari tersebut di studio dan hasilnya adalah album kami.. Kalau kendalanya yang paling serius adalah masalah finansial, karena kalau saja masalah finansial tidak menjadi masalah tentu kendala-kendala teknis yang lain dapat diatasi..hehe..
T : Kalo kendalanya menurut saya adalah teknis, koordinasi dan kedisiplinan. Saya mengakui adalah orang yang mempunyai profil kurang dari tiga hal itu, hahahaa…
Minggu pertama perilisan The Arsonist of Human Integrity, kalian membuat promo “Tentukan Harga Sesukamu“. Bagaimana dengan itu? Jelas sebuah pertaruhan besar bukan? Feedback apa yang kalian dapat?
A : Hahahaha itu ide gila Wiman, tapi dengan ide gila itu kita bisa tahu karya kita dihargai bagaimana oleh orang lain.
W : Hahahaha, itu akal-akalan saya waktu itu, yaa cara spreading saja, kalo mau jujur sih pengen gaya-gayaan niru “In Rainbow“-nya Radiohead. Pertaruhan besarnya saya sempat silang pendapat lumayan keras dengan Aryo karena saya tidak membicarakan konsep “suka – suka” ini secara kolektif, tapi syukur penjualan lancar. Feedback yang kami dapat ini masih di angan-angan saya sih, saya ingin menghancurkan jarak antara band dengan pendengarnya dalam bentuk nominal harga rilisan fisik. Saya ingin memberhalakan kemauan pendengar buat memburu rilisan fisik sebuah band.

Secara gamblang kalian menyebut The Arsonist of Human Integrity adalah album konseptual yang terinspirasi dari film semacam Se7en serta hal-hal berkaitan dengan post-modernism, terlebih dengan adanya pembagian tema menjadi 5 bagian beserta subtemanya. Ini jelas konsep yang susah dicerna awam. Apa sebenarnya yang ingin kalian sampaikan?
W : Kami ingin menyampaikan ada 5 dosa besar di era post-modernisme yang akan menghancurkan sirkulasi sosial tradisional yang kita tinggali sekarang ini yaitu Joy (ekstase fanatisme berlebihan dalam hubungan vertikal dengan apa yang kita namai Tuhan), Fear (ketakutan kita terhadap simulacra & velocity era post-modernisme), Greed (ketamakan kita untuk mengakui kita melakukan penemuan baru di era post-modernisme), Regret (penyesalan semua dosa kita di era post-modernisme). Worship sendiri masuk dalam dosa yang layak masuk dalam dosa besar yang ingin saya bicarakan, memuja idola kita dengan berubah jadi personifikasi atau imitasi idola kita, tapi saya memutuskan untuk mengubah Worship menjadi pemujaan Aryo terhadap Radiohead dan pemujaan saya terhadap Richard James Edward dari Manic Street Preachers.

Apa ada korelasi antara pemujaan terhadap Richard James Edward (Manic Street Preachers) tersebut dengan munculnya “Manics interpretasi baru dari Monolismethic di album ini?
W : Ya, betul sekali. Di Manics versi EP saya menjahit potongan warisan Richey (Richard James Edward – red) dalam liriknya. Lirik Richey yang bercerita tentang keagungannya, bukan re-interpretasi baru dari saya. Di versi Monolismethic saya melafalkan bait pertama sama seperti di EP. Ditengah lagu saya mencantumkan “you wanna girl so tear off his cock” (Yes – album The Holly Bible), Margue Ariyanti yang menyanyikan kalimat tersebut. Saya ingin mengimajinasi pendengar dengan kesan sexist, bahwa manusia normal pun kalau dia paham dengan sosok Richey, dia bakal bisa mncintai Richey layaknya sosok perempuan. Di akhir lagu isinya cuma ratapan mengharapkan kembalinya Richey. Saya ingin menggambar sosok Richey menurut bahasa saya, menurut pengalaman saya dulu mengintiminya, bukan lagi melalui jahitan tambal-sulam warisan liriknya.
A : Monolismethic merupakan sebuah one man project salah seorang teman kami Hendriastanto “Bams” Rachmadani, yang berbau elektronik dan post-rock. Setelah mendengarkan beberapa lagu dari Monolismethic, sepertinya menarik juga jika “Manics” dibuat remake atau diinterpretasikan lagi oleh Monolismethic. Ini bisa membuat sesuatu dan suasana yang berbeda dalam lagu tersebut. kami sangat senang bisa mengajak Monolismethic bekerja sama dalam album ini.

Seperti apakah konsep post-modernisme di mata kalian?

W : Di mata saya selama proses saya belajar mengenal post-modernism konsep tersebut saya anggap sebagai puncak atau bahasa trend-nya cvlt (cult -red) dari semua periode penemuan isme manusia di era modern.  Post-modernism adalah isme yang sedang kaya-kayanya dalam hal literasi, pembahasan, diskursus dan mampu meramal seperti apa hubungan manusia nantinya. Saat akhirnya saya memutuskan memilih tema post-modernisme versi pemahamam saya, alasannya karena isme yang satu ini sebenarnya sudah menguasai aspek hidup kita, dari simulasi hidup kita melalui media (elektronik, cetak) dan kecepatan yang menguasai sirkulasi sosial kita dalam berkomunikasi dengan sekitar kita. Saya pikir ekstase pada 2 hal diatas yang membuat post-modernisme sangat menarik untuk dibuat konsep lagu dengan metafora yang kita alami secara batiniah dan badaniah di dalam sirkulasi kehidupan sosial yang kita alami sendiri.

Sound kalian sekarang terdengar lebih berat, gelap, atmospheric, dan sedikit depresif mungkin. Intervensi influensial apa saja yang mempengaruhi kalian sehingga secara materi, album ini lebih  kaya akan eksplorasi ketimbang A New Tradition dulu?
W : Hehehe …aduh kok kesannya bagus sekali sih album ini. Jujur, selama proses perjalanan album ini saya hanya mendengarkan Between The Buried and Me dari genre metal. Selebihnya saya menggali influens dari karya-karya yang lebih personal, mendalam dan jujur dari Slamet Gundono, Earth dan Om. Saya tidak ingin terlalu banyak fantasi dalam lirik album ini. Saya ingin sesuatu yang bersifat batiniah dan badaniah.
A : Banyak berbicara dengan orang dan banyak mendengarkan berbagai macam musik menjadi modal utama untuk dapat mengeksplorasi lebih dalam album ini.
P : Itu kebetulan kami memang mempunyai referensi yang berbeda tentang jenis-jenis musik, dan kalau saya pribadi saya tinggal menyesuaikan saja.
T : Sharing dan open minded, jangan lupa ‘be yourself’, tiinggg

Kalian pernah meng-cover One dari Metallica. Kenapa tidak memasukkannya dalam album ini dan hanya memasukkan cover version Street Spirit dari Radiohead?
W : Hahahaha… saya takut kalo harus menjawab pertanyaan ini. Jujur sepengetahuan saya “One” itu secara konsep tidak terlalu masuk dalam album ini.  Sebagai contoh, Aryo bahkan sampai menggubah “SNGPNCRMNTHN” untuk menyisipkan penaik-turunan tensi lagu. Karena kita berempat sepakat komposisi cover version ini kurang masuk, jadilah “One” tidak dimasukan.
A : Yap, menurut kami “One” yang kami cover, secara konsep, tidak masuk dalam album kami. “SNGPNCRMNTHN” saja harus diubah lagi untuk menyamakan konsepnya dengan yang lain. “SNGPNCRMNTHNalbum version sangat berbeda dengan promo kami sebelumnya.

Apa kegiatan kalian saat ini (pasca rilis)?

W : Rencana kedepan kita berempat sepakat untuk membanggakan orang tua kita masing-masing yang sedang senang-senangnya tahu kalo anaknya menjadi Sarjana (bahasa simple-nya kerja, bahasa nggerusnya hiatus hahahahaha..
A : Bener tuh kata Wiman, tapi sekarang saya lagi mencoba mencari dan mengumpulkan ide untuk membuat materi baru. Kami ingin bisa terus berkarya.
P : Saat ini saya ingin bekerja dahulu tapi yang jelas kami ga akan bubar, kami ingin tetap berkarya..
T : Saya masih berkutat dengan imajinasi lain diluar bermain musik, tapi tetep di jalur musik, ahaha…

Aryo dan Pandu juga menjadi orang dibalik Hellavila Records. Bagaimana perkembangan label ini? Proyeksi kedepannya?

P : Bisa kita lihat sendiri di tahun 2011 kemarin Hellavila merilis 2 album baru yaitu Overseas (Half Of Life) dan Spider’s Last Moment (The Arsonist Of Human Integrity), menurut saya itu merupakan perkembangan baik, dan untuk ke depannya doakan saja agar kami tetap bisa konsisten untuk merilis band-band berikutnya… makanya ini saya bekerja juga supaya bisa merilis band-band berikutnya…
A : Kami akan menambah rilisan band-band terdahsyat lagi dari Yogyakarta, ditunggu saja beritanya dari kami.

Oke, terimakasih atas waktunya. Something to add or say, maybe?
W : Terima kasih banyak buat teman-teman yang sudah meluangkan waktu untuk mendengar lagu-lagu SLM di album ini.
P : Makasih buat  teman-teman di Yogyakarta yang telah mendidik sedemikian rupa… hehe… terimakasih untuk perhatian dan dukungannya…
A : Terimakasih untuk teman-teman  yang sudah mensupport kami selama ini, kalian sangat yeaahhhh!! *saking tak bisa digambarkan dengan kata-kata*
T : Tanpa kalian, kami-pun ga ada.


[interview by Dozan Alfian | pic : band's doc]
Follow @SLMoment @HellavilaRecs

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More