Monday, 1 April 2013

Memperingati Melalui Sekotak Boxset

Hari raya Iedul Fitri tahun kemarin terasa istimewa bagi saya dan adik kandung saya karena itu adalah hari raya pertama dalam sejarah dimana kami berdua tidak membelanjakan uang hasil tabungan kami untuk membeli baju baru. Seorang teman tiba-tiba saja menghubungi saya bahwa dia memiliki sekotak memori yang dia jual dengan harga yang sangat miring, seperti bisa ditebak saya dan adik saya akhirnya mengambil kotak tersebut dan tidak mengenakan satu potong-pun baju baru ketika sungkem ke rumah embah. 
Apa gerangan isi kotak tersebut sampai-sampai dia bisa mengalahkan sebuah tradisi hari raya?
Kotak tersebut bernama lengkap “MANIC STREET PREACHERS: NATIONAL TREASURE, A COMPLETE SINGLES”. Sebuah mimpi yang jadi nyata, sebuah atribut untuk melegalisasi status saya dan adik saya sebagai seorang Manics. 

Ide saya untuk merangkai kata-kata di tulisan ini sudah saya pendam sangat lama, selain alasan ditutupnya Multiply, saya juga berusaha keras untuk menjauhkan rangkaian kata ini menjadi semacam ritual unboxing standar. 
Ayo, mari kita berbagi pengalaman batiniah yang lebih dalam mengenai kotak ini. Manic Street Preachers (yang kemudian dilanjutan kisah ini akan saya singkat menjadi MSP) merupakan salah satu band yang menempel di hati saya, dalam, sangat dalam. Diawali dengan perkenalan dengan banyak hits mereka seperti “ You Stole the Sun From My Heart”, atau ”If You Tolerate This Then Your Children Will be Next” tiba-tiba saja mereka seperti mewajibkan pendengarnya untuk menggali lebih dalam tentang apa yang mereka tulis, apa yang mereka coba sampaikan dalam tiap komposisinya. Mau tidak mau saya harus mau, mulailah saya mendalami Generation Terrorist, album pertama MSP. Di album itu mereka banyak mengeksploitasi jiwa rebel mereka, rebel anak muda, rebel terhadap apa saja, rebel terhadap tatanan dunia yang tidak sesuai dengan pikiran mereka, rebel dengan gaya berpakaian yang konvensional, rebel terhadap maskulinitas mereka sebagai pria, rebel, rebel dan rebel. Titik rebel inilah yang nanti pada bagian selanjutnya (yang akan saya interpretasikan secara pengalaman pribadi) akan menjadikan MSP menjadi sebuah band yang kemudian terpaksa mengalihkan ide tersebut menjadi ide tentang penggalian memori sejarah kelam salah satu pencetus ide pemebrontakan melaui lirik dalam band ini dan atau mungkin mereka berkata-kata: “Kita dulu sudah terlalu rebel, terlalu menunjukan jiwa pemberontakan kita, lalu mau apa lagi kita?”. Bisa kita lanjutkan pemahaman saya ketika MSP menghabiskan masa pemberontakan mereka sampai menuju masa ratapan mereka di sisa kariernya? Baiklah ini pemahaman saya secara personal dan secara intim.

I. SEBUAH ESENSIALITAS CARA BERMUSIK
Sebuah band akan ditandai dan menandai keberadaan mereka melalui sebuah album. Secara normal biasanya album pertama bisa jadi sebuah batu loncatan saja atau malah jadi sebuah penanda betapa briliannya karya sebuah band. Dalam konteks MSP, saya menetapkan Generation Terrorist sebagai penanda dan karya paling brilian yang pernah mereka ciptakan. Berasal dari sedikit pemahaman saya ketika membaca biografi MSP, mereka tidak bisa lepas dari kultur para nerd yang mencoba memainkan musik punk rock untuk meraih pengakuan dari lingkungannya. Generation Terrorist dapat dikatakan sebagai album yang sukses karena MSP berhasil menjaga formula-formula yang ingin mereka sampaikan pada masa awal mereka terbentuk, pemberontak, seksi dan meledak-ledak. Kajian lirik yang dibawakan di album ini pun tidak main-main, Nicky Wire dan Richie James menandai mereka sebagai penulis paling tajam dan berkelas sampai saat ini, James Dean pun sukses mengeksploitasi kepandaiannya dalam mengakomodasi  kata-kata menjadi sebuah lagu. MSP mulai meraih kesuksesan besar setelah album ini, mereka dengan pandai menyusupkan kata-kata indah dalam tiap liriknya, mereka adalah pionir, simbol cara pemberontakan yang baru.
Sebuah lanjutan yang enak untuk merangkai bagian satu ini menuju bagian selanjutnya adalah bahwa menurut paham saya MSP tidak pernah lagi memiliki album yang secara isi memiliki esensialitas yang mantap dalam lanjutan album mereka selanjutnya, secara kasar saya menyebut mereka hanya berlomba menjadi penulis yang baik bukan lagi menjadi perangkai nada yang orisinal, baru dan tertantang. Yang lebih mengerikan lagi mereka tidak pernah sadar kalau mereka sedang pasang badan untuk menjadi seorang martir, seorang pahlawan yang gugur, seorang pahlawan yang akhirnya diam.

II. MEMASUKI MASA TERKELAM
Dua tahun setelah Generation Terrorist, MSP merekam The Holly Bible sebuah awal dari pengalaman terkelam yang akan mereka alami. Holly Bible memperkuat kesan MSP sebagai band yang menuliskan pengalaman yang berani dan yang jarang diambil oleh pemusik atau band komersial manapun di dunia ini. Menuliskan sisi kelam dari kehidupan imperialis barat berupa fasisme, prostitusi, menyakiti diri sendiri, omong kosong dan depresi berat jelas bukan pilihan sebuah band komersial untuk mengekspresikan diri mereka pada pendengarnya, namun mereka memilihnya. Konon divisi lirik di album ini hampir semuanya dikuasai pemahaman dan pengalaman dari Richie, sebuah kenyataan dan imajinasi menjijikan apabila kita benar-benar menyelami lirik-lirik yang ditawarkan di album ini. Richie menjalani sesi rekaman album ini dengan mulai memahami kalau bakatnya di band ini bukan pada gitar, tapi pada tulis menulis. Entah untuk memperkuat kesan mistis album ini Richie mulai menyayat bagian tubuhnya dan diperlihatkan dihadapan publik dengan alasan mengerikan berupa keyakinan bahwa kalau dia masih merasa sakit dia berarti masih hidup. Richie akhirnya hilang dan dinyatakan mati entah dengan cara bunuh diri atau dengan cara dikejar-kejar agen rahasia.
Richard "Richie" James Edwards


Richie seolah-olah memberikan tanda bahwa dikemudian hari teman-teman bandnya sudah harus beralih tema dalam menulis lirik, dia sudah mempersiapkan semuanya (Richie memiliki tulisan-tulisan tercecer yang kemudian diabadikan dalam album Journal for Plague Lovers), Richie sepertinya sudah menyarankan teman-temannya di band untuk menulis tentang dirinya saja, tentang kejeniusannya, tentang pemberontakannya, tentang masa mudanya, tentang ritual sayat-menyayatnya. MSP resmi memasuki masa terkelam dalam sejarah mereka dengan kehilangan salah satu penulis lirik mereka, atau mungkin Richie memberi jalan buat teman-temannya untuk membuktikan mereka bisa menulis? atau malah Richie seegois itu untuk memaksa teman-temannya agar kemudian bertahun-tahun terjebak dalam pemujaan terhadap dirinya? Saya secara paham saya lebih memilih opsi yang positif bahwa Richie adalah penganut istilah “cukup adalah cukup”, ketika dia berhasil mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam menulis, maka dia memilih untuk pergi dengan caranya sendiri guna memberi jalan bagi teman-temannya untuk mengeluarkan kemampuan terbaik mereka dalam menulis lirik, ya menulis lirik tentang lagu ratapan dan lagu permintaan maaf untuk dirinya.

III. MASA MEMINTA MAAF DAN MASA UNTUK TERUS MENYANYIKAN REQUIEM

Bagian ini adalah bagian yang menjelaskan secara tersurat makna dari judul yang saya ambil. Keputusan saya untuk akhirnya mengambil kesimpulan bahwa MSP pada lanjutan karier mereka hanya meratapi kepergian Richie didasarkan pada banyak sekali bukti, opini dan interpretasi yang sedikit agak liar. Sebagai contoh awal yang paling mudah adalah album pertama MSP selepas kepergian Richie berjudul Everything Must Go. Dalam boxsetnya MSP merilis single berupa A Design For Life, Everything Must Go, Australia dan Kevin Carter.
Dalam pemahaman saya semua lagu ini berisi ratapan, penyamaan kisah, permintaan maaf dan seruan untuk Richie, mari kita bahas satu persatu interpretasi saya: A Design For Live bercerita tentang bagaimana seharusnya hidup itu di desain, dalam visualisainya berupa video klip digambarkan bagaimana kehidupan a la Amerika yang nyaman dengan pasangan orang tua dan dua anak yang hidup di rumah yang nyaman, penuh senyum, penuh rutinitas yang menyenangkan, rangkaian lirik pun dibuat sedemikian rupa indahnya, mengalir dan membuat kita yakin kalau lagu ini adalah kritik dari standarisasi hidup indah a la Amerika, sampai pada akhirnya kita ditemukan dengan “We dont talk about love, we only wanna get drunk, and we are not allowed to spend, as we are told that this is the end”. Sebuah rangkaian yang saya anggap mengejutkan untuk lagu yang indah secara komposisi dari awal dimulainya lagu, kita kemudian harus merunut lagi keseluruhan lirik dan kemudian kita menjadi yakin bahwa lagu ini adalah lagu yang dibuat untuk menggambarkan dari mana Richie berasal (Richie tadinya adalah seorang buruh, seorang supir taksi sebelum dia menjadi roadie MSP dan akhirnya menjadi gitaris MSP) dan apa salah satu kebiasaan Richie semasa dia menghabiskan masa hidupnya (Richie mengalami depresi berat yang membuatnya masuk pusat rehab alkohol sebelum dia akhirnya menderita Self-Harm Deliberate).
Everything Must Go adalah single selanjutnya setelah single A Design For Life dirilis dalam boxset National Treasures, jujur saja lagu ini sangat mengagetkan saya karena MSP seolah-olah meminta maaf dan menyatakan kalau mereka tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa ketika ditanyai kenapa Richie bisa hilang, “And if you needed an explanation, and everything must go” begitu sepatah jawaban mereka.
 Australia jelas merupakan seruan dari harapan kecil teman-teman Richie di MSP yang mendasarkan keyakinan mereka pada rumor yang beredar mengenai keberadaan Richie di Australia. Sebuah seruan yang tak pernah berujung pada keberhasilan membawa kembali Richie dari persembunyiannya, sebuah seruan yang menjadikan lagu ini menjadi sebuah mitos yang membuat para Manics berfantasi mengenai keberadaan Richie.
Kevin carter adalah single selanjutnya, dia adalah seorang kulit putih yang menentang apartheid di Afrika Selatan, seorang kafir, begitu James Dean menyebutnya. Berakhir tragis dengan bunuh diri juga,  Kevin Carter menurut pemahaman saya adalah sebuah penyamaan sosok. Harus diakui banyak kesamaan antara dirinya dan Richie, dalam penutup video klip Kevin Carter MSP mencantumkan kuotasi tersohor milik Paul Virilio “Images contaminate us like viruses”. Kevin Carter adalah pemenang award kemanusiaan atas foto seorang anak kelaparan yang tengah diintai burung pemakan bangkai namun dalam keadaan aslinya dibelakang anak tersebut terdapat pasukan penjaga perdamaian dengan banyak suplai makanan datang ke kamp dimana anak itu tinggal, sebuah ironi karena Kevin tidak memotret secara utuh keadaan saat itu. 
A Photo by Kevin Carter
Sama dengan Richie yang tidak pernah memotret keadaan dirinya secara utuh terutama di masa penulisan album The Holly Bible dimana dia menyembunyikan malaikat mautnya yang bernama Anorexia (bisa kita lihat dalam lirik lagu 4st 7lbs yang juga setara dengan 29kg, sebuah batas orang yang menderita anorexia akhirnya mati, berat Richie pada saat menulis Holly Bible sudah mencapai 37kg) dan ritual sayat-menyayatnya yang membuat dirinya merasa nyaman untuk bersembunyi dari kesakitan batin yang ada melalui kesakitan fisik. Mereka berdua adalah korban dari visualisasi yang salah, yang menyatakan semuanya baik-baik saja tapi sebenarnya tidak. Mereka hanya mau bersembunyi dan menampilkan sisi baik dari seseorang dan mereka semua gagal.
Selepas album Everything Must Go sepertinya MSP mulai menjadikan semua lagu mellow mereka menjadi semacam requiem bagi Richie, entah mereka memang masih menangisi Richie atau mereka membebaskan para Manics untuk menginterpretasi lagu mereka menjadi seperti itu. Tak perlu diceritakan disini, silakan disimak saja seluruh diskografi mereka. Memang bukan sebuah permasalahan ketika sebuah band menyimbolkan personel mereka untuk menjadi sebuah icon, namun dalam kasus Richie kita mau tidak mau akan dihadapkan pada kenyataan bahwa Richie tidak bisa bermain gitar, dia mengaku kalau dia hanya berpose saja. Dengan kata lain setiap divisi kreatif di MSP sudah terisi, sesungguhnya. Divisi musik merupakan bagian James dan Sean, divisi lirik a la Richie-pun sudah menjadi bagian Nicky setelah Richie pergi bahkan James memiliki kemampuan menulis dengan metafora yang lebih baik dibandingkan Richie. Lantas mengapa Richie sebegitu berpengaruhnya, pertanyaan ini baiknya kita lontarkan sambil tersenyum, bukan sembari menyernyitkan dahi dan mengerdilkan peran Richie, atau sebaliknya, mengerdilkan MSP dengan menganggap mereka band yang cengeng.

IV.  KUBUATKAN KAU “THIS IS THE DAY”

Album terakhir MSP adalah Postcard From A Young Man, lagi-lagi sebuah album yang secara musikalitas biasa-biasa saja. Kesan menarik dari album ini adalah lagi-lagi (lagi) mengenai single yang dirilis yang berjudul “This Is The Day” yang berisi rekam jejak MSP bersama Richie maupun selepas Richie pergi. Dalam video klipnya, “This Is The Day” dibuka dengan kutipan menarik milik J.G. Ballard yang berbunyi “Memory is the greatest gallery in the world and i can play an endless archive of image”. Sekali lagi MSP secara jujur menghadirkan Richie dalam lagu mereka, suatu yang tipikal namun tidak pernah membuat kita (atau mungkin saya saja) merasa  bosan, justru kita (atau mungkin saya saja lagi) akan merasa “wah, mas-nya diulas lagi, mas-nya hebat” yang kemudian dilanjutkan dengan senyum kita untuk kemudian membawa terawangan jauh ke masa lalu ketika MSP masih dilengkapi Richie. Jadi tercapai sudah maksud judul yang saya sematkan diatas, boxset MSP ini sangat bermanfaat buat teman-teman yang mungkin butuh cara yang paling tepat untuk membawa Richard James Edward kedalam kamar kita, kedalam pemutar musik kita sehari-hari, kedalam ruangan yang kita anggap paling nyaman yaitu memori atau lemari yang berisi barang yang kita kumpulkan. Kita dapat mengenang semua peninggalannya setiap waktu untuk kemudian menyimpulkan senyum.
Sebagai kesimpulan yang lebih luas, saya menyimpulkan bahwa hilangnya Richie malah bagus buat MSP karena di masa Post-modern ini mereka mau rebel ke siapa (lagi) dan seperti siapa (lagi)? Che Guevara sudah jadi simbol keseksian anak muda tanggung yang belajar “kiri”, Castro sudah diambang maut, palu arit sudah jadi lambang saja, tidak lebih dari itu, semua pengusungnya sudah runtuh, kalaupun Richie masih ada dan mengiblatkan diri pada sosok pemimpin baru yang rebel, mau memilih siapa dia? Chavez sudah mati, 5 orang yang satu tipe dengannya sudah mati atau hampir mati karena tiba-tiba terkena kanker, mau meniru presiden Iran? Ahh sepertinya mereka tidak terlalu peduli atau tertarik dengan masalah imperium pan-arab. Memang hematnya cukup itu cukup, dan memang benar kata James kadang “Everything Must Go”, dan bagi saya hal ini adalah hal yang menyenangkan, karena akhirnya saya berani menulis lagi dan berani menceritakan pengalaman batin saya lagi terhadap sebuah musik dan pelakunya. Terima kehadiran saya kembali, semoga jauh lebih baik dibanding kehadiran saya di masa lalu. Selamat malam, ingat Everything Must Go, baik yang pergi dan baik yang datang kita musti merelakannya. Salam 

(Ditulis sembari diiringi From Despairs To Where – The Manics)



*Artikel ini ditulis oleh teman, rekan, sejawat, saudara seperjuangan Wiman Rizkidarajat, Vokalis dari band progresif cerdas asal Yogyakarta; Spider's Last Moment
Kontributor lepas untuk Ear Magazine, serta beberapa kali menjadi narasumber mengenai musik Sludge di radio maupun media cetak.

Lihat Mixtape Exhibition Wiman Rizkidarajat di sini

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More