Hari raya Iedul Fitri tahun kemarin terasa istimewa bagi saya dan adik kandung saya karena itu
adalah hari raya pertama dalam sejarah dimana kami berdua tidak membelanjakan
uang hasil tabungan kami untuk membeli baju baru. Seorang teman tiba-tiba saja
menghubungi saya bahwa dia memiliki sekotak memori yang dia jual dengan harga
yang sangat miring, seperti bisa ditebak saya dan adik saya akhirnya mengambil
kotak tersebut dan tidak mengenakan satu potong-pun baju baru ketika sungkem ke
rumah embah.
Apa gerangan isi kotak tersebut sampai-sampai dia bisa mengalahkan
sebuah tradisi hari raya?
Kotak tersebut bernama lengkap “MANIC STREET
PREACHERS: NATIONAL TREASURE, A COMPLETE SINGLES”. Sebuah mimpi yang jadi
nyata, sebuah atribut untuk melegalisasi status saya dan adik saya sebagai
seorang Manics.
Ide saya untuk
merangkai kata-kata di tulisan ini sudah saya pendam sangat lama, selain alasan
ditutupnya Multiply, saya juga berusaha keras untuk menjauhkan rangkaian kata
ini menjadi semacam ritual unboxing
standar.
Ayo, mari kita berbagi pengalaman batiniah yang lebih dalam mengenai
kotak ini. Manic Street Preachers (yang kemudian dilanjutan kisah ini akan saya
singkat menjadi MSP) merupakan salah satu band yang menempel di hati saya,
dalam, sangat dalam. Diawali dengan perkenalan dengan banyak hits mereka
seperti “ You Stole the Sun From My Heart”, atau ”If You Tolerate This Then Your Children Will be Next” tiba-tiba saja mereka seperti mewajibkan
pendengarnya untuk menggali lebih dalam tentang apa yang mereka tulis, apa yang
mereka coba sampaikan dalam tiap komposisinya. Mau tidak mau saya harus mau,
mulailah saya mendalami Generation Terrorist, album pertama MSP. Di album itu
mereka banyak mengeksploitasi jiwa rebel
mereka, rebel anak muda, rebel terhadap apa saja, rebel terhadap tatanan dunia
yang tidak sesuai dengan pikiran mereka, rebel dengan gaya berpakaian yang
konvensional, rebel terhadap maskulinitas mereka sebagai pria, rebel, rebel dan
rebel. Titik rebel inilah yang nanti pada bagian selanjutnya (yang akan saya
interpretasikan secara pengalaman pribadi) akan menjadikan MSP menjadi sebuah
band yang kemudian terpaksa mengalihkan ide tersebut menjadi ide tentang penggalian
memori sejarah kelam salah satu pencetus ide pemebrontakan melaui lirik dalam band
ini dan atau mungkin mereka berkata-kata: “Kita dulu sudah terlalu rebel,
terlalu menunjukan jiwa pemberontakan kita, lalu mau apa lagi kita?”. Bisa kita
lanjutkan pemahaman saya ketika MSP menghabiskan masa pemberontakan mereka
sampai menuju masa ratapan mereka di sisa kariernya? Baiklah ini pemahaman saya
secara personal dan secara intim.
I. SEBUAH ESENSIALITAS CARA BERMUSIK
Sebuah band akan
ditandai dan menandai keberadaan mereka melalui sebuah album. Secara normal
biasanya album pertama bisa jadi sebuah batu loncatan saja atau malah jadi
sebuah penanda betapa briliannya karya sebuah band. Dalam konteks MSP, saya
menetapkan Generation Terrorist sebagai penanda dan karya paling brilian yang
pernah mereka ciptakan. Berasal dari sedikit pemahaman saya ketika membaca
biografi MSP, mereka tidak bisa lepas dari kultur para nerd yang mencoba
memainkan musik punk rock untuk meraih pengakuan dari lingkungannya. Generation Terrorist dapat dikatakan sebagai album yang sukses karena MSP berhasil menjaga
formula-formula yang ingin mereka sampaikan pada masa awal mereka terbentuk,
pemberontak, seksi dan meledak-ledak. Kajian lirik yang dibawakan di album ini
pun tidak main-main, Nicky Wire dan Richie James menandai mereka sebagai
penulis paling tajam dan berkelas sampai saat ini, James Dean pun sukses
mengeksploitasi kepandaiannya dalam mengakomodasi kata-kata menjadi sebuah lagu. MSP mulai
meraih kesuksesan besar setelah album ini, mereka dengan pandai menyusupkan
kata-kata indah dalam tiap liriknya, mereka adalah pionir, simbol cara
pemberontakan yang baru.
Sebuah lanjutan
yang enak untuk merangkai bagian satu ini menuju bagian selanjutnya adalah
bahwa menurut paham saya MSP tidak pernah lagi memiliki album yang secara isi
memiliki esensialitas yang mantap dalam lanjutan album mereka selanjutnya,
secara kasar saya menyebut mereka hanya berlomba menjadi penulis yang baik
bukan lagi menjadi perangkai nada yang orisinal, baru dan tertantang. Yang
lebih mengerikan lagi mereka tidak pernah sadar kalau mereka sedang pasang
badan untuk menjadi seorang martir, seorang pahlawan yang gugur, seorang
pahlawan yang akhirnya diam.
II.
MEMASUKI MASA TERKELAM
Dua tahun setelah
Generation Terrorist, MSP merekam The Holly Bible sebuah awal dari pengalaman
terkelam yang akan mereka alami. Holly Bible memperkuat kesan MSP sebagai band
yang menuliskan pengalaman yang berani dan yang jarang diambil oleh pemusik
atau band komersial manapun di dunia ini. Menuliskan sisi kelam dari kehidupan
imperialis barat berupa fasisme, prostitusi, menyakiti diri sendiri, omong
kosong dan depresi berat jelas bukan pilihan sebuah band komersial untuk
mengekspresikan diri mereka pada pendengarnya, namun mereka memilihnya. Konon
divisi lirik di album ini hampir semuanya dikuasai pemahaman dan pengalaman
dari Richie, sebuah kenyataan dan imajinasi menjijikan apabila kita benar-benar
menyelami lirik-lirik yang ditawarkan di album ini. Richie menjalani sesi
rekaman album ini dengan mulai memahami kalau bakatnya di band ini bukan pada
gitar, tapi pada tulis menulis. Entah untuk memperkuat kesan mistis album ini
Richie mulai menyayat bagian tubuhnya dan diperlihatkan dihadapan publik dengan
alasan mengerikan berupa keyakinan bahwa kalau dia masih merasa sakit dia
berarti masih hidup. Richie akhirnya hilang dan dinyatakan mati entah dengan
cara bunuh diri atau dengan cara dikejar-kejar agen rahasia.
Richard "Richie" James Edwards |
Richie seolah-olah
memberikan tanda bahwa dikemudian hari teman-teman bandnya sudah harus beralih
tema dalam menulis lirik, dia sudah mempersiapkan semuanya (Richie memiliki
tulisan-tulisan tercecer yang kemudian diabadikan dalam album Journal for
Plague Lovers), Richie sepertinya sudah menyarankan teman-temannya di band
untuk menulis tentang dirinya saja, tentang kejeniusannya, tentang
pemberontakannya, tentang masa mudanya, tentang ritual sayat-menyayatnya. MSP
resmi memasuki masa terkelam dalam sejarah mereka dengan kehilangan salah satu
penulis lirik mereka, atau mungkin Richie memberi jalan buat teman-temannya
untuk membuktikan mereka bisa menulis? atau malah Richie seegois itu untuk
memaksa teman-temannya agar kemudian bertahun-tahun terjebak dalam pemujaan terhadap
dirinya? Saya secara paham saya lebih memilih opsi yang positif bahwa Richie
adalah penganut istilah “cukup adalah cukup”, ketika dia berhasil mengeluarkan
kemampuan terbaiknya dalam menulis, maka dia memilih untuk pergi dengan caranya
sendiri guna memberi jalan bagi teman-temannya untuk mengeluarkan kemampuan
terbaik mereka dalam menulis lirik, ya menulis lirik tentang lagu ratapan dan
lagu permintaan maaf untuk dirinya.
III. MASA MEMINTA MAAF DAN MASA UNTUK TERUS MENYANYIKAN REQUIEM
Bagian ini adalah
bagian yang menjelaskan secara tersurat makna dari judul yang saya ambil.
Keputusan saya untuk akhirnya mengambil kesimpulan bahwa MSP pada lanjutan
karier mereka hanya meratapi kepergian Richie didasarkan pada banyak sekali
bukti, opini dan interpretasi yang sedikit agak liar. Sebagai contoh awal yang
paling mudah adalah album pertama MSP selepas kepergian Richie berjudul
Everything Must Go. Dalam boxsetnya MSP merilis single berupa A Design For
Life, Everything Must Go, Australia dan Kevin Carter.
Dalam pemahaman
saya semua lagu ini berisi ratapan, penyamaan kisah, permintaan maaf dan seruan
untuk Richie, mari kita bahas satu persatu interpretasi saya: A Design For Live
bercerita tentang bagaimana seharusnya hidup itu di desain, dalam visualisainya
berupa video klip digambarkan bagaimana kehidupan a la Amerika yang nyaman
dengan pasangan orang tua dan dua anak yang hidup di rumah yang nyaman, penuh senyum,
penuh rutinitas yang menyenangkan, rangkaian lirik pun dibuat sedemikian rupa
indahnya, mengalir dan membuat kita yakin kalau lagu ini adalah kritik dari
standarisasi hidup indah a la Amerika, sampai pada akhirnya kita ditemukan
dengan “We dont talk about love, we only
wanna get drunk, and we are not allowed to spend, as we are told that this is
the end”. Sebuah rangkaian yang saya anggap mengejutkan untuk lagu yang
indah secara komposisi dari awal dimulainya lagu, kita kemudian harus merunut
lagi keseluruhan lirik dan kemudian kita menjadi yakin bahwa lagu ini adalah
lagu yang dibuat untuk menggambarkan dari mana Richie berasal (Richie tadinya
adalah seorang buruh, seorang supir taksi sebelum dia menjadi roadie MSP dan akhirnya menjadi gitaris MSP)
dan apa salah satu kebiasaan Richie semasa dia menghabiskan masa hidupnya (Richie
mengalami depresi berat yang membuatnya masuk pusat rehab alkohol sebelum dia
akhirnya menderita Self-Harm Deliberate).
Everything Must Go
adalah single selanjutnya setelah single A Design For Life dirilis dalam boxset
National Treasures, jujur saja lagu ini sangat mengagetkan saya karena MSP
seolah-olah meminta maaf dan menyatakan kalau mereka tidak bisa memberikan
penjelasan apa-apa ketika ditanyai kenapa Richie bisa hilang, “And if you needed an explanation, and
everything must go” begitu sepatah jawaban mereka.
Australia jelas merupakan seruan dari harapan
kecil teman-teman Richie di MSP yang mendasarkan keyakinan mereka pada rumor
yang beredar mengenai keberadaan Richie di Australia. Sebuah seruan yang tak
pernah berujung pada keberhasilan membawa kembali Richie dari persembunyiannya,
sebuah seruan yang menjadikan lagu ini menjadi sebuah mitos yang membuat para Manics berfantasi mengenai keberadaan Richie.
Kevin carter adalah
single selanjutnya, dia adalah seorang kulit putih yang menentang apartheid di
Afrika Selatan, seorang kafir, begitu James Dean menyebutnya. Berakhir tragis
dengan bunuh diri juga, Kevin Carter
menurut pemahaman saya adalah sebuah penyamaan sosok. Harus diakui banyak
kesamaan antara dirinya dan Richie, dalam penutup video klip Kevin Carter MSP
mencantumkan kuotasi tersohor milik Paul Virilio “Images contaminate us like viruses”. Kevin Carter adalah pemenang
award kemanusiaan atas foto seorang anak kelaparan yang tengah diintai burung
pemakan bangkai namun dalam keadaan aslinya dibelakang anak tersebut terdapat
pasukan penjaga perdamaian dengan banyak suplai makanan datang ke kamp dimana
anak itu tinggal, sebuah ironi karena Kevin tidak memotret secara utuh keadaan
saat itu.
A Photo by Kevin Carter |
Sama dengan Richie yang tidak pernah memotret keadaan dirinya secara
utuh terutama di masa penulisan album The Holly Bible dimana dia menyembunyikan
malaikat mautnya yang bernama Anorexia (bisa kita lihat dalam lirik lagu 4st
7lbs yang juga setara dengan 29kg, sebuah batas orang yang menderita anorexia
akhirnya mati, berat Richie pada saat menulis Holly Bible sudah mencapai 37kg) dan
ritual sayat-menyayatnya yang membuat dirinya merasa nyaman untuk bersembunyi
dari kesakitan batin yang ada melalui kesakitan fisik. Mereka berdua adalah
korban dari visualisasi yang salah, yang menyatakan semuanya baik-baik saja
tapi sebenarnya tidak. Mereka hanya mau bersembunyi dan menampilkan sisi baik
dari seseorang dan mereka semua gagal.
Selepas album
Everything Must Go sepertinya MSP mulai menjadikan semua lagu mellow mereka
menjadi semacam requiem bagi Richie,
entah mereka memang masih menangisi Richie atau mereka membebaskan para Manics
untuk menginterpretasi lagu mereka menjadi seperti itu. Tak perlu diceritakan
disini, silakan disimak saja seluruh diskografi mereka. Memang bukan sebuah
permasalahan ketika sebuah band menyimbolkan personel mereka untuk menjadi
sebuah icon, namun dalam kasus Richie kita mau tidak mau akan dihadapkan pada
kenyataan bahwa Richie tidak bisa bermain gitar, dia mengaku kalau dia hanya
berpose saja. Dengan kata lain setiap divisi kreatif di MSP sudah terisi,
sesungguhnya. Divisi musik merupakan bagian James dan Sean, divisi lirik a la Richie-pun
sudah menjadi bagian Nicky setelah Richie pergi bahkan James memiliki kemampuan
menulis dengan metafora yang lebih baik dibandingkan Richie. Lantas mengapa Richie
sebegitu berpengaruhnya, pertanyaan ini baiknya kita lontarkan sambil tersenyum,
bukan sembari menyernyitkan dahi dan mengerdilkan peran Richie, atau
sebaliknya, mengerdilkan MSP dengan menganggap mereka band yang cengeng.
IV. KUBUATKAN KAU “THIS IS THE DAY”
Album terakhir MSP
adalah Postcard From A Young Man, lagi-lagi sebuah album yang secara
musikalitas biasa-biasa saja. Kesan menarik dari album ini adalah lagi-lagi
(lagi) mengenai single yang dirilis yang berjudul “This Is The Day” yang berisi rekam jejak MSP bersama Richie maupun
selepas Richie pergi. Dalam video klipnya, “This
Is The Day” dibuka dengan kutipan menarik milik J.G. Ballard yang berbunyi
“Memory is the greatest gallery in the
world and i can play an endless archive of image”. Sekali lagi MSP secara
jujur menghadirkan Richie dalam lagu mereka, suatu yang tipikal namun tidak
pernah membuat kita (atau mungkin saya saja) merasa bosan, justru kita (atau mungkin saya saja
lagi) akan merasa “wah, mas-nya diulas lagi, mas-nya hebat” yang kemudian
dilanjutkan dengan senyum kita untuk kemudian membawa terawangan jauh ke masa
lalu ketika MSP masih dilengkapi Richie. Jadi tercapai sudah maksud judul yang
saya sematkan diatas, boxset MSP ini sangat bermanfaat buat teman-teman yang
mungkin butuh cara yang paling tepat untuk membawa Richard James Edward kedalam
kamar kita, kedalam pemutar musik kita sehari-hari, kedalam ruangan yang kita
anggap paling nyaman yaitu memori atau lemari yang berisi barang yang kita
kumpulkan. Kita dapat mengenang semua peninggalannya setiap waktu untuk
kemudian menyimpulkan senyum.
Sebagai kesimpulan yang
lebih luas, saya menyimpulkan bahwa hilangnya Richie malah bagus buat MSP karena
di masa Post-modern ini mereka mau rebel ke siapa (lagi) dan seperti siapa
(lagi)? Che Guevara sudah jadi simbol keseksian anak muda tanggung yang belajar
“kiri”, Castro sudah diambang maut, palu arit sudah jadi lambang saja, tidak
lebih dari itu, semua pengusungnya sudah runtuh, kalaupun Richie masih ada dan
mengiblatkan diri pada sosok pemimpin baru yang rebel, mau memilih siapa dia?
Chavez sudah mati, 5 orang yang satu tipe dengannya sudah mati atau hampir mati
karena tiba-tiba terkena kanker, mau meniru presiden Iran? Ahh sepertinya
mereka tidak terlalu peduli atau tertarik dengan masalah imperium pan-arab.
Memang hematnya cukup itu cukup, dan memang benar kata James kadang “Everything
Must Go”, dan bagi saya hal ini adalah hal yang menyenangkan, karena akhirnya
saya berani menulis lagi dan berani menceritakan pengalaman batin saya lagi
terhadap sebuah musik dan pelakunya. Terima kehadiran saya kembali, semoga jauh
lebih baik dibanding kehadiran saya di masa lalu. Selamat malam, ingat
Everything Must Go, baik yang pergi dan baik yang datang kita musti
merelakannya. Salam
(Ditulis sembari
diiringi From Despairs To Where – The Manics)
*Artikel ini ditulis oleh teman, rekan, sejawat, saudara seperjuangan Wiman Rizkidarajat, Vokalis dari band progresif cerdas asal Yogyakarta; Spider's Last Moment.
Kontributor lepas untuk Ear Magazine, serta beberapa kali menjadi narasumber mengenai musik Sludge di radio maupun media cetak.
Lihat Mixtape Exhibition Wiman Rizkidarajat di sini
0 comments:
Post a Comment