ILANA
Cerpen Dozan Alfian
Aku telah lama tahu bahwa uang
mampu membeli banyak hal sekaligus tak mampu membeli banyak hal lainnya. Uang
menjadikan segala hal serupa dengannya, mempunyai dua sisi berlawanan yang
saling mutualis. Seperti apa yang saat ini sedang terjadi, aku baru saja
membeli tubuh dan harga diri seorang perempuan. Aku baru saja mengasah ulang
serta menajamkan lagi naluri kebinatanganku, menumpahkan segala hasrat dan
nafsu birahiku pada perempuan yang telentang pasrah menerima hujaman-hujaman
cabul dariku. Aku begitu bernafsu, kontra dengan apa yang kulihat dari
perempuan itu. Dia hanya memejamkan matanya, dan sesekali melenguh— yang kurasa
hanya rintihan palsu saja— lebih seperti kesopanan semata. Bagaimanapun juga,
sundal selalu belajar untuk berpura-pura menikmati persetubuhannya. Semakin
cepat si hidung belang menuntaskan hajatnya, semakin cepat pula siksa batin
yang ditanggungkannya. Dan seperti kita semua tahu, lelaki manapun mudah kalah
pada desahan yang nakal. Membuat kemaluan sekeras apapun akan segera lunglai
memuntahkan benih-benihnya.
Tidak ada cinta dalam pergumulan
itu. Aku sendiri menginginkan suatu keintiman yang nyata. Oke, belaian-belaian
yang dijuruskannya padaku untuk menggugah kelelakianku memang harus kuakui
kualitas wahid, mampu menderaskan aliran darah dan menyalakan batang celaka
tempat Iblis bernaung, tapi apa daya, aku merasa sedang bergulat dengan diriku
sendiri. Perempuan itu selalu berusaha merangsangku agar penyatuan badani ini
lekas usai, sebaliknya aku ingin berlama-lama sambil sesekali berusaha memagut
bibirnya. Namun perempuan itu selalu mengelak dengan tersenyum, kau bisa
menjamah apa saja dari tubuhku selain bibirku, ujarnya. Aku mendengus kesal
seperti anak kecil tak dituruti keinginannya membeli mainan. Namun kuselesaikan
juga birahiku, memindahkan benih-benihku kedalam rahimnya dan berakhir jatuh
kedalam pelukannya.
“Mengapa aku tak bisa mencumbumu
di bibir?”
“Karena aku tak kenal kau, dan
kau tak kenal aku.”
“Tapi aku membayarmu mahal,”
ujarku sengit.
Perempuan itu tertawa. Oh ya, aku tidak tahu namanya.
“Ya, kau membayarku mahal, dan
pelayananku padamu pun kelas 1. Kau tak bisa memungkiri itu. Hanya saja, kita
sudah sepakat bukan, kau bisa menjamah seluruh tubuhku, tapi tidak bibirku.
Kalau kau mau, kau bahkan boleh memagut leherku hingga merah kalau itu bisa
menggantikan hasratmu pada bibirku.”
Aku terdiam dan memandang
matanya. Perempuan ini cantik sebenarnya. Tubuhnya pun menggiurkan. Tak ada
jakun lelaki yang tak akan naik-turun dan tak ada liur lelaki tak menetes demi
melihat keindahan tubuhnya. Maka aku tak keberatan membayar lebih untuk sekedar
2-3 jam bermain cinta dengannya. Aku bergerak bangkit dari ranjang, mengambil
sebatang rokok dan menyulutnya lalu memilih duduk di sofa kamar hotel. Ekor
mataku masih memandang ke arahnya.
“Setidaknya, beritahu aku
namamu.”
Perempuan itu bangkit
menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Buah dadanya yang ranum menjuntai
bebas di hadapanku.
“Rasanya tak perlu ada nama.
Kalaupun aku berikan sebuah nama padamu, aku rasa kau tahu bahwa aku akan
memakai nama samaran. Nama yang terdengar mesum dan menggoda. Seperti nama
wanita penghibur kebanyakan.”
“Kalau begitu katakanlah. Aku
tak keberatan dengan nama samaran. Setidaknya agar aku lebih mudah memanggilmu.
“
Perempuan itu tersenyum, menunduk
sejenak sambil membetulkan letak selimut yang membungkus bagian bawah tubuhnya.
“Daripada kita menghabiskan
waktu sekedar berbicara nama dan negosiasi cumbu, bukankah lebih baik kau
kembali ke ranjang dan menjamah tubuhku?”
“Ya, aku akan kembali menjamah
tubuhmu. Tapi nanti. Sekarang aku ingin sekedar bercakap-cakap denganmu.”
“Bercakap-cakap?”
“Ya, bercakap-cakap. Aku bahkan
rela membayar lagi jika bercakap-cakap denganmu pun membutuhkan biaya tambahan.
Sebutkan saja berapa, aku akan bayar.”
“Apakah semua pria selalu
seperti ini? Menganggap wanita sepertiku hanya objek pemuas nafsu yang bisa
dibayar sesuka hati? Karena kau membayarku untuk bercinta denganmu, bukan
berarti kau bisa memberi label harga pada setiap layanan yang kau mau.”
“Aku.. tidak, tidak, bukan itu
maksudku. Aku hanya mencoba masuk kedalam dirimu, mencoba membuat kita semua
nyaman. Untuk itulah aku mengajakmu bercakap-cakap. Justru karena aku tak ingin
menganggapmu sebagai…”
“Pelacur?”
“..sebagai teman tidur semata.”
“Pelacur kedengaran lebih normal
daripada ‘teman tidur’.”
“Ya, ya, ya, pelacur kalau
begitu. Kalau itu maumu.”
Perempuan itu tertawa, lalu
bangkit dan membiarkan selimut yang membungkusnya terlepas jatuh ke lantai. Dia
menghampiriku, berjalan ke arahku bagaikan patung Venus The Milo yang anggun.
Tubuhnya bagai pualam.
Aku birahi lagi.
Dia berdiri di depanku, merebut rokok yang masih menyala di jariku untuk
kemudian di matikan. Dia membungkuk dan kini wajah kami hanya terpaut 10 cm
saja. Dia tersenyum dan bergerak maju. Kami berciuman. Berpagutan. Dan dalam
keadaan yang demikian itu, aku merasa mencintainya, memilikinya dan merasa
dekat sekali dengannya.
Tak ada yang pernah bilang
padaku bahwa French kiss itu bisa
sebasah ini.
**
“Itu tadi gratis. Kau tak perlu membayar
lagi. Tak perlu memberi tips apapun. Anggap saja upah karena kau begitu
menggemaskan dan terlalu banyak bicara.”
Aku tertawa. Sungguh, aku masih
ingin melumat bibirnya. Entah mengapa, cinta dan nafsu bisa begitu bersisian
dan jika keduanya digabungkan, tak ada batas-batas kasat mata yang bisa kau
lihat. Aku hanya merasa mencintainya. Tapi di lain sisi, aku juga berhasrat
padanya.
“Lalu, siapa namamu?”
“Kau sudah mendapatkan bibirku
dan masih butuh namaku?”
“Ya. Karena aku rasa kita akan
sering bertemu lagi nantinya.”
Dia tak menjawab, tetapi menarik
tanganku dan mengajakku kembali naik ranjang. Kami bersetubuh lagi. Kali ini
lebih hebat dari sebelumnya. Aku rasa, jika persetubuhan yang pertama adalah
orientasi yang acuh, maka kali kedua ini adalah ledakan yang intim.
Persetubuhan kami berakhir dengan aku memeluk erat tubuhnya yang bersandar di
dadaku. Kami berdua sibuk dengan pikiran kami masing-masing dan terjadi jeda
beberapa waktu sebelum akhirnya perempuan itu membuka percakapan;
“Namaku Ilana. Itu saja yang kau
perlu panggil, dan kuharap tak ada pertanyaan lagi.”
Aku tersenyum dan mengecup
keningnya,
“Terimakasih Ilana,“ dan lampu
kamar pun meredup untuk kemudian mati menidurkan kami dalam kegelapan yang
damai.
**
0 comments:
Post a Comment