Friday 24 January 2014

Ilana

ILANA
Cerpen Dozan Alfian
               Aku telah lama tahu bahwa uang mampu membeli banyak hal sekaligus tak mampu membeli banyak hal lainnya. Uang menjadikan segala hal serupa dengannya, mempunyai dua sisi berlawanan yang saling mutualis. Seperti apa yang saat ini sedang terjadi, aku baru saja membeli tubuh dan harga diri seorang perempuan. Aku baru saja mengasah ulang serta menajamkan lagi naluri kebinatanganku, menumpahkan segala hasrat dan nafsu birahiku pada perempuan yang telentang pasrah menerima hujaman-hujaman cabul dariku. Aku begitu bernafsu, kontra dengan apa yang kulihat dari perempuan itu. Dia hanya memejamkan matanya, dan sesekali melenguh— yang kurasa hanya rintihan palsu saja— lebih seperti kesopanan semata. Bagaimanapun juga, sundal selalu belajar untuk berpura-pura menikmati persetubuhannya. Semakin cepat si hidung belang menuntaskan hajatnya, semakin cepat pula siksa batin yang ditanggungkannya. Dan seperti kita semua tahu, lelaki manapun mudah kalah pada desahan yang nakal. Membuat kemaluan sekeras apapun akan segera lunglai memuntahkan benih-benihnya.
                Tidak ada cinta dalam pergumulan itu. Aku sendiri menginginkan suatu keintiman yang nyata. Oke, belaian-belaian yang dijuruskannya padaku untuk menggugah kelelakianku memang harus kuakui kualitas wahid, mampu menderaskan aliran darah dan menyalakan batang celaka tempat Iblis bernaung, tapi apa daya, aku merasa sedang bergulat dengan diriku sendiri. Perempuan itu selalu berusaha merangsangku agar penyatuan badani ini lekas usai, sebaliknya aku ingin berlama-lama sambil sesekali berusaha memagut bibirnya. Namun perempuan itu selalu mengelak dengan tersenyum, kau bisa menjamah apa saja dari tubuhku selain bibirku, ujarnya. Aku mendengus kesal seperti anak kecil tak dituruti keinginannya membeli mainan. Namun kuselesaikan juga birahiku, memindahkan benih-benihku kedalam rahimnya dan berakhir jatuh kedalam pelukannya.
                “Mengapa aku tak bisa mencumbumu di bibir?”
                “Karena aku tak kenal kau, dan kau tak kenal aku.”
                “Tapi aku membayarmu mahal,” ujarku sengit.
Perempuan itu tertawa. Oh ya, aku tidak tahu namanya.

                “Ya, kau membayarku mahal, dan pelayananku padamu pun kelas 1. Kau tak bisa memungkiri itu. Hanya saja, kita sudah sepakat bukan, kau bisa menjamah seluruh tubuhku, tapi tidak bibirku. Kalau kau mau, kau bahkan boleh memagut leherku hingga merah kalau itu bisa menggantikan hasratmu pada bibirku.”
                Aku terdiam dan memandang matanya. Perempuan ini cantik sebenarnya. Tubuhnya pun menggiurkan. Tak ada jakun lelaki yang tak akan naik-turun dan tak ada liur lelaki tak menetes demi melihat keindahan tubuhnya. Maka aku tak keberatan membayar lebih untuk sekedar 2-3 jam bermain cinta dengannya. Aku bergerak bangkit dari ranjang, mengambil sebatang rokok dan menyulutnya lalu memilih duduk di sofa kamar hotel. Ekor mataku masih memandang ke arahnya.
                “Setidaknya, beritahu aku namamu.”
                Perempuan itu bangkit menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Buah dadanya yang ranum menjuntai bebas di hadapanku.
                “Rasanya tak perlu ada nama. Kalaupun aku berikan sebuah nama padamu, aku rasa kau tahu bahwa aku akan memakai nama samaran. Nama yang terdengar mesum dan menggoda. Seperti nama wanita penghibur kebanyakan.”
                “Kalau begitu katakanlah. Aku tak keberatan dengan nama samaran. Setidaknya agar aku lebih mudah memanggilmu. “
                Perempuan itu tersenyum, menunduk sejenak sambil membetulkan letak selimut yang membungkus bagian bawah tubuhnya.
                “Daripada kita menghabiskan waktu sekedar berbicara nama dan negosiasi cumbu, bukankah lebih baik kau kembali ke ranjang dan menjamah tubuhku?”
                “Ya, aku akan kembali menjamah tubuhmu. Tapi nanti. Sekarang aku ingin sekedar bercakap-cakap denganmu.”
                “Bercakap-cakap?”
                “Ya, bercakap-cakap. Aku bahkan rela membayar lagi jika bercakap-cakap denganmu pun membutuhkan biaya tambahan. Sebutkan saja berapa, aku akan bayar.”
                “Apakah semua pria selalu seperti ini? Menganggap wanita sepertiku hanya objek pemuas nafsu yang bisa dibayar sesuka hati? Karena kau membayarku untuk bercinta denganmu, bukan berarti kau bisa memberi label harga pada setiap layanan yang kau mau.”
                “Aku.. tidak, tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya mencoba masuk kedalam dirimu, mencoba membuat kita semua nyaman. Untuk itulah aku mengajakmu bercakap-cakap. Justru karena aku tak ingin menganggapmu sebagai…”
                “Pelacur?”
                “..sebagai teman tidur semata.”
                “Pelacur kedengaran lebih normal daripada ‘teman tidur’.”
                “Ya, ya, ya, pelacur kalau begitu. Kalau itu maumu.”
                Perempuan itu tertawa, lalu bangkit dan membiarkan selimut yang membungkusnya terlepas jatuh ke lantai. Dia menghampiriku, berjalan ke arahku bagaikan patung Venus The Milo yang anggun. Tubuhnya bagai pualam.
Aku birahi lagi.
Dia berdiri di depanku, merebut rokok yang masih menyala di jariku untuk kemudian di matikan. Dia membungkuk dan kini wajah kami hanya terpaut 10 cm saja. Dia tersenyum dan bergerak maju. Kami berciuman. Berpagutan. Dan dalam keadaan yang demikian itu, aku merasa mencintainya, memilikinya dan merasa dekat sekali dengannya.
                Tak ada yang pernah bilang padaku bahwa French kiss itu bisa sebasah ini.

**

                “Itu tadi gratis. Kau tak perlu membayar lagi. Tak perlu memberi tips apapun. Anggap saja upah karena kau begitu menggemaskan dan terlalu banyak bicara.”
                Aku tertawa. Sungguh, aku masih ingin melumat bibirnya. Entah mengapa, cinta dan nafsu bisa begitu bersisian dan jika keduanya digabungkan, tak ada batas-batas kasat mata yang bisa kau lihat. Aku hanya merasa mencintainya. Tapi di lain sisi, aku juga berhasrat padanya.
                “Lalu, siapa namamu?”
                “Kau sudah mendapatkan bibirku dan masih butuh namaku?”
                “Ya. Karena aku rasa kita akan sering bertemu lagi nantinya.”
                Dia tak menjawab, tetapi menarik tanganku dan mengajakku kembali naik ranjang. Kami bersetubuh lagi. Kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Aku rasa, jika persetubuhan yang pertama adalah orientasi yang acuh, maka kali kedua ini adalah ledakan yang intim. Persetubuhan kami berakhir dengan aku memeluk erat tubuhnya yang bersandar di dadaku. Kami berdua sibuk dengan pikiran kami masing-masing dan terjadi jeda beberapa waktu sebelum akhirnya perempuan itu membuka percakapan;
                “Namaku Ilana. Itu saja yang kau perlu panggil, dan kuharap tak ada pertanyaan lagi.”
                Aku tersenyum dan mengecup keningnya,
                “Terimakasih Ilana,“ dan lampu kamar pun meredup untuk kemudian mati menidurkan kami dalam kegelapan yang damai.
**

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More