Tuesday 24 June 2014

Tahun Adu Domba


Tahun 2014 adalah tahun politik. Tahun dimana pesta (katanya) demokrasi 5 tahunan kembali digelar untuk memilih Presiden – Wakil Presiden Indonesia selanjutnya. Sepanjang karier kepemilihan saya yang baru seumur jagung, baru kali ini rasanya momentum Pemilihan Umum menjadi sedemikian menyebalkan dari segala sisi. Ada beberapa hal yang terjadi selama berlangsungnya masa kampanye membuat saya bertanya-tanya, apakah benar kita sudah merdeka?

 Kenapa hal tersebut patut kita pertanyakan?

Pertama, sebagai bekas negara jajahan yang sekian ratus tahun terbiasa dibodohi, dicurangi dan dikuras habis kekayaannya, maka alam bawah sadar kita berkata bahwa melakukan hal serupa adalah suatu kelumrahan. Wajar dan bisa diterima. Ya, tentu saja kita semua tahu bahwa membodohi orang, mencurangi bahkan sampai menggasak kekayaan negara adalah perbuatan tidak benar. Tapi toh saya hakkul yakin, kita semua pernah melakukan hal-hal warisan jaman penjajahan itu terlepas apapun bentuknya. Bahkan senioritas di kampus kala masa orientasipun bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk warisan jaman kolonial yang merugikan itu. Maka relasinya dalam tahun politik ini adalah munculnya orang-orang yang berlomba-lomba melakukan pembodohan massal, mendiskreditkan orang-orang yang dianggap tak kompeten secara intelejensia sebagai pihak awam dan menudingnya bodoh memilih Capres yang tak senada dengan pilihannya. Bagi saya pribadi, mengkultuskan seseorang secara berlebihan lalu memakai beragam daya upaya untuk membenarkan pengkultusannya tersebut adalah sebenar-benarnya kebebalan, karena telinga dan mata hati kita akan otomatis memproteksi diri dari segala macam kritik dan koreksi, bahkan yang sifatnya membangun sekalipun.

linimasa Ahmad Dhani

linimasa Wimar Witoelar
Kedua, praktik devide et impera atau politik memecah-belah, adu domba a la era kolonial juga nyata-nyata sedang diterapkan dalam masa yang sarat kampanye hitam ini. Memutar-balikkan fakta secara lisan dianggap tak cukup. Maka riset dokumentasi dari masa lalu dikumpulkan, diterjemahkan secara sepihak tafsirnya lalu dipelintir untuk menjadi artikel berbahaya yang intinya mempertanyakan hal yang sama: “Masih mau Lu, milih orang kaya gini?”. Berhubung tak semua orang rela meluangkan waktu untuk membaca artikel analisis yang sarat kutipan, maka orang-orang kereatif  (ya, memang saya tulis ‘kereatif’, dimana saya artikan secara serampangan sebagai kere atau miskin ide tapi mau sok berkreasi) dengan sigap dan cekatan membuat meme dari nukilan dokumentasi foto yang dibuat dengan tujuan menjatuhkan ataupun menaikkan pamor salah satu Capres. Saya masih saja dibuat kagum atas cepatnya daya berpikir saudara-saudara sebangsa kita yang bisa dengan cepat melihat suatu momentum yang sedang berlangsung sebagai kesempatan untuk membuat ‘karya’ baru yang entah disengaja atau tidak, bisa direlasikan sebagai jalan menyebarkan kampanye kecil-kecilan. Kawan-kawan mungkin masih ingat saat Debat Capres episode kedua dimana Joko Widodo memberikan pertanyaan seputar TPID kepada Prabowo. 
Baru sekitar 5 menit saya kelar mendapatkan info TPID dari Google, saat itu pula di social media Path sudah muncul meme mengenai TPID dengan berbagai kepanjangannya, baik yang sekedar komedi maupun yang menjurus pada penyerangan sepihak pada salah satu Capres. Luar biasa sumber daya manusia bangsa ini dengan kecepatan nalarnya dalam membidik issue untuk diangkat. Sayangnya hanya dipakai untuk membuat sesuatu yang sifatnya temporer. Andaikan daya imajinasi mereka digunakan untuk memberikan sumbangsih bagi negeri komedi ini, nampaknya siapapun Presidennya, kita akan tetap mampu melaju kearah yang berkualitas.

***

Banyak kawan yang mengutarakan keengganannya terlibat dalam pesta demokrasi. Menjadi golput ataupun habis-habisan mencibir euphoria 5 tahunan ini. Beberapa dari mereka yang masih ragu bertanya kepada saya, meminta pertimbangan pada siapa sebaiknya mereka memilih. Saya pribadi mendukung Jokowi, tapi kepada mereka saya hanya menjawab, “Putuskan dengan bertanya pada nuranimu”. Mengapa demikian? Karena saya menginginkan mereka menjadi pemilih yang bertanggungjawab terhadap pilihannya. Salah satu alasan mengapa saya tertarik mengamati situasi politik karena kekecewaan saya dulu memilih SBY pada periode pertamanya. Seperti kebanyakan orang, saya memilih SBY karena SBY kala itu muncul sebagai kuda hitam dari lawan-lawan politiknya yang sudah lebih dahulu berkecimpung dan memiliki track record yang agaknya mengecewakan. Maka kala itu saya rasa SBY adalah agen perubahan. Tapi kita semua akhirnya tahu, apa yang kita dapatkan dalam 2 periode kepemimpinannya yang penuh dengan ungkapan “Saya prihatin”.

Kembali pada apa yang saya tuliskan di atas, menjadi pemilih yang bertanggungjawab artinya kita memilih karena kita sudah mempelajari perjalanannya, track recordnya, tidak sebatas karena si A nampaknya tegas dan berwibawa atau si B nampaknya orang yang merakyat. Tidak sesederhana itu. Tak kenal maka tak sayang. Maka kita harus mengenali baik-baik siapa yang akan kita pilih. Jika informasi yang beredar sudah sedemikian simpang-siurnya dan tumpang-tindih antara fakta dan rekayasa, maka jalan terakhirnya adalah bertanya pada nuranimu sendiri.

Meski saya mendukung Jokowi, saya tak menampik ada orang-orang kotor dengan kepentingan kotor pula yang membonceng padanya. Begitupun sebaliknya, Prabowo yang tak habis-habis jadi bahan cemoohan karena dugaan keterlibatannya dalam pelanggaran HAM dan menurut beberapa orang diboncengi sekelompok orang-orang oportunis pun ternyata juga mendapat dukungan dari beberapa tokoh baik yang sepak terjangnya juga baik. Maka kita tak bisa seenaknya berkata si A baik, didukung orang-orang baik. Si B kotor, pendukungnya pun orang-orang kotor. Jika kita berpikir demikian, maka kita melakukan generalisasi sepihak. Lalu apa bedanya kita dengan orang-orang yang kita tuduh otoriter? Lebih dari itu semua, saya hanya ingin menyampaikan kegelisahan saya akan situasi politik yang makin memuakkan ini. Terbiasa dipecah-belah ratusan tahun menjadikan kita juga mudah dipecah-belah bahkan oleh anak-anak bangsa sendiri. Maka marilah kita memilih berdasarkan apa yang kita yakini layak dipilih, bukan karena kita termakan kampanye negatif tak bertanggungjawab yang belakangan ini makin santer saja bertiup di kedua kubu. Belajarlah untuk melakukan riset sendiri, berlatih menganalisis issue yang beredar, dan belajarlah menerima fakta.

Pada akhirnya, golput tetap bukan solusi. Saya harap teman-teman juga tidak memilih golput, karena seperti kata Bertolt Brecht, “Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional."

Selamat menentukan pilihan

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More